Lihat ke Halaman Asli

Hari Ibu: Refleksi dari Diri Kita Sebagai Seorang Anak

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau lah Ibuku, cinta kasihku

Pengorbananmu tak kan pernah terganti

Kau bagai matahari yang selalu bersinar

Sinari hidupku dengan kasih sayangmu

Kalimat di atas adalah potongan bait lagu dari Haddad Alwi yang ia nyanyikan bersama Farhan. Lagu tersebut berjudul Ibu. Kalau kita mencari lagu dengan judul Ibu pasti sangat banyak. Tentunya masing-masing pencipta lagu membuatnya dengan penuh rasa haru ketika mengingat perjuangan ibu kepada anak-anaknya yang begitu dahsyat. Perjuangan yang tidak pernah terkalahkan, perjuangan yang tidak pernah mampu dibalas dengan apapun.

Ibu itu bagaikan sang surya yang terus menerus tiada henti menyinari seluruh alam ini. Pengibaratan tersebut memang sangat pantas jika kita melihat bagaimana sosok seorang ibu dengan segala jerih payah usahanya.

Tidak perlu bahkan jangan sekali-kali kita meragukan kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya. Kita tentu tahu dan juga mengalami ketika kecil dulu bagaimana kasih sayang yang diberikan oleh ibu kepada kita. Sepanjang hari, sepanjang waktu ibu kita selalu menyayangi kita. Rasa hangat dan penuh kenyamanan setiap kali kita berada di samping beliau. Bagaimanapun juga sebagai seorang anak jangan pernah melupakan semua itu.

Betapa Sangat Berjasanya Ibu

Pasti kita tahu tentang sebuah legenda dari tanah Minang yang seringkali diceritakan entah itu di sekolah, di rumah kita, ataupun di tempat lain. Kisah tentang seorang anak yang durhaka kepada ibunya, Malin Kundang. Seorang anak yang hidup di perkampungan nelayan di daerah Padang, Sumatera Barat. Dia tinggal bersama ibu yang sangat menyayanginya, Mande Rubayah. Akan tetapi ketika si Malin sudah dewasa, dia sudah menjadi ‘orang’, dan memperistri seorang putri bangsawan yang kaya raya, wataknya berubah menjadi seorang anak yang sangat sombong.

Ketika kembali dari mengarungi lautan dia tidak mau mengakui Mande Rubayah sebagai seorang ibunya karena merasa malu mempunyai ibu yang miskin dan hidupnya terlunta-lunta. Padahal betapa sedihnya sang Ibunda ketika ditinggal pergi berlayar oleh anak semata wayangnya. Mande Rubayah yang sangat menyayangi Malin tidak pernah berhenti berdoa dalam setiap malamnya. Memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar putranya selalu dalam lindungan-Nya.

Karena kesombongannya itulah akhirnya si Malin dikutuk oleh ibunya hingga menjadi batu yang menurut cerita memang nyata adanya batu Malin Kundang tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline