- * Gereja dan dunia pelayanan di dalam metaverse
Reformasi agama dipercepat oleh penemuan mesin cetak. Teknologi pencetakan memungkinkan para reformator untuk mencetak Alkitab dan buku-buku teologi. Media massa seperti radio, televisi, dan film memiliki efektif digunakan untuk penginjilan. Tak perlu dikatakan, Internet telah membawa dimensi baru dari misi Gereja dari membuat situs web hingga menggunakan platform online untuk menjalankan gereja. Ini bias melalui penyediaan layanan online, pertemuan kelompok kecil untuk berdoa dan belajar Alkitab, dan membuat konten kristen yang bermanfaat di jejaringsosial dan youtube di era COVID 19 ini. Dalam cermah Seorang pendeta GBI bernama Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham mencermahkan pemikiran dari seorang teolog yang bernama David J .Bosh yang mengatakan bahwa:
"Salah satutantangan yang harusdihadapi oleh gerejaTuhanterutamagereja di akhir zaman berasaldarikemajuanIlmuPengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang begitupesat"[7]
Rubin berpendapat bahwa evolusi tidak terjadi dalam proses bertahap dan konstan, tetapi dalam tekanan saat-saat ketika makhluk hidup mengalami keadaan tegangan tinggi atau tekanan untuk berubah. Dan kemajuan teknologi itu membuat pergeseran nilai-nilai Kristen mulai mengalami kelunturan terutama di alamai oleh generasi yang berdampingan dengan perkembangan IPTEK.
Untuk mencari nilai-nilai kristen yang sudah mulai luncur dikarenakan perkembangan IPTEK. Dari harafiah kata Metaverse yang terdiridari kata META (Yun) = Beyond/melampaui dan VERSE (ing)-Universe/semesta. ,maka dapat disimpulkan bahwa metaverse ialah melampaui semesta. Metaverse adalah tempat yang berbeda-bedauntuk bertemu ,bermain, berdiskusi da n berinteraksi satu dengan yang lain dari berbagai belahan bumi manapun. Jikalau disandingkan dengan matius 28:19 "Karena itupegilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus."Maka metaverse membuka peluang untuk menyampaiakan misi kepada orang-orang dari segala suku bangsa melalui metaverse.
Pada masa pandemi Covid-19 gereja telah mencoba menyikapi pelayanan berbasis online. Bagaimana memberitakan misi Allah, pelayanan Ibadah Minggu sampai kepada pendampingan pastoral untuk keluarga berduka dan lain-lain. Meskipun berjalan dengan baik tetapi tidak berjalan dengan begitu baik. Faktor yang mengakibatkan keberlangsungan ialah jaringan yang kurang memadai. Dan itu membuatsuasana ibadah sedikit terganggu dan bias dibilang bergeser maknanya. Namun satu hal yang menjadi realitas ialah penerimaan terhadap pelayanan berbasis online harus diterima dan dijalankan untuk menjawab pelayanan-pelayanan gereja pada konteks pandemic itu sendiri.
Cara gereja menyikapi hal tersebut merupakan gambaran gereja terus memperbaharui diri. Meninggalkan Gereja Kolonial dan menuju Gereja Kontekstual. Gereja semestinya harus memikir kanapa yang menjadi hal baru. Gereja yang lama dalam suratIbrani 11: 10-16, mencari kota yang belum ada dan membangun kota. Sedangkan dalam diskusi Oase Intim Pdt. Joas Adiprasetya menawarkan jalan keluar bagi gereja yang lama menuju gereja yang baru (Kolonial ke Kontekastual) salah satunya yang membuat gereja itu disebut kontekstual ketika gereja hadir ,menjawab serta mensimulasikan perkambangan dalam konteks yang ada salah satunya metaverse. Gereja menyikapi metaverse dalam basis pelayanan gereja maka gereja itu disebut gereja yang kontekstual.
Melalui diskusi itu Pdt. Joas Adiprasetya mengatakan gereja proflective"memandang ke masa depan dengan melihatapa yang ada pada sesama.[8] Dengan hadirnya pandemi covid-19 membuat gereja menerawang masa depan. Salah satu lokus menerawang oleh gerejaialah metaverse. Gereja harus sigap menerawang metaverse, didalam metaverse gereja bias beretofleki( penelikungan ke masa depan bukan masa silam) bahwa gereja metaverse sebagai suatu kota/tanah perjanjian yang perlu di bangun dan di tata kembali. Metaverse sendiri menyediakan ruang-ruang social dengan dimensi yang berbeda, di dalam metaverse terjadi pembatasan social interaksi yang imbasnya pada pelayanan gereja. Namun ini menjadi tanggungjawab orang beriman untuk bagaimana melihat dari kacamata iman. Metaverse disisi lain memiliki banyak hal yang tidak diterima dalam dunia pelayanan. Tetapi metaverse juga merupakan suatau bidang yang menjauhkan orang-orang dari imbas pandemi.
Dalam diskusi oease intim Zakaria J.Ngelow mengatakan bahwa Eklesiologi pandemic mengedepankan perspektif pelayanan konteks pandemic ialah menjangkau masyarakat di lua rtembok-tembok gereja[9]. Jika disbandingkan gereja metaverse pertama kali yang dirintis oleh pastor DJ Sotopada Life Churc di metaverse dan di hadiri oleh 97 orang dari berbagai belahan dunia maka fenomena churc goes onlian and life churc adalah suatu gambaran masa depan gereja yang tentunya fenomena-fenomena ini menuntuk banyak perubahan di dalam gereja. Perubahan anggota jemaat,pelayanan sakramen dan perubahan karakter serta kelembagaan gereja yang kaku menjadi gereja yang fleksibel (Solid churc to liquid)
TergerusatauTergerak
Kendati demikian jelas bahwa gereja VR(Virtual Reality) adalah perbatasan misi di era digital, namun gereja VR perlu mengembangkan dasar-dasar alkitabiah dan teologisnya tidak hanya untuk mengatasi kontroversi teologis tetapi juga juga untuk membenarkan misi dan pelayanan praktisnya. (Yohanes 1:3). Semua hal yang terlihat dan tidak terlihat diciptakan melalui Yesus dan untuk-Nya (Kolose). 1:15-16). Oleh karena itu, adalah benar untuk mengatakan bahwa VR ada di dalam alam semesta Allah, yang merupakan supranatural. dan makhluk metafisik. Yang kemudian ketiga konsep ini jika disandingan bahwa penemuan metaverse merupakan suatu penciptaan/ penemuan dalam dunia teknologi yang di dalam kisah kisah penciptaan jika di sandingan dengan ketiga landasan Alkitab di atas bisa di sebut dengan creatiocontinua yang arinya Allah yang masih terus menciptakan segala sesuatu demi menunjukkan Eksistensinya sebagai Allah. Tidak ada yang bisa membatasi Allah untuk mengurung pekerjaan sebagai pencipta hanya ada kata "ciptaan" yang akan membawa kita melihat hasil dari pekerjaan Allah.