Lihat ke Halaman Asli

Menjerat Oknum Hakim Nakal

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bila semua Polisi, Jaksa dan Advokat adalah Iblis, maka seorang Hakim harus tetap menjadi Malaikat.”

Suatu harapan yang indah dan merupakan impian semua pihak. Hakim menjadi wakil Tuhan dalam menegakan kebenaran dan keadilan. Namun apa daya, Hakim hanya lah seonggok daging yang dianugerahi akal dan nafsu layaknya manusia lainnya. Sebagai manusia, Hakim menjadi tempat munculnya suatu kesalahan juga. Bahwa adanya anggapan Hakim adalah orang yang diberikan kekuasaan oleh Negara untuk memutuskan suatu perkara berdasarkan keahliannya dalam bidang hukum ternyata tidak semuanya bisa dibenarkan perilakunya.

Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan, mensahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dimana pada Pasal 13 huruf a ditegaskan bahwa Komisi Yudisial bertugas untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim.

Kemudian disusul oleh Mahkamah Agung RI sebagai tempat bernaung para Hakim menyadari benar munculnya potensi perilaku menyimpang dari para Hakim tersebut, sehingga Ketua Mahkamah Agung RI pada waktu itu, Bapak Bagir Manan, pada tanggal 22 Desember 2006 mengeluarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/104 A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim.

Ini adalah salah satu bentuk apresiasi dari jeritan masyarakat yang menuntut terpenuhinya rasa keadilan dan kepastian hukum yang selama ini seringkali diputuskan oleh beberapa oknum Hakim yang melukai perasaan keadilan masyarakat.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada maka dapat disimpulkan bahwa sistem pengawasan terhadap Hakim terdiri dari dua jalur, yaitu melalui Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Namun dengan adanya dua jalur pengawasan tersebut apakah akan terjadi tumpang tindih kewenangan??

Perlu Penulis sampaikan bahwa walaupun kedua lembaga tersebut sama-sama melakukan tugas nya sebagai pengawas terhadap Hakim, namun keduanya memiliki fokus pengawasan yang berbeda. Kewenangan Mahkamah Agung lebih cenderung bersifat kepada tehnis yuridis, sedangkan Komisi Yudisial memiliki kewenangan sebatas perilaku Hakim. Pengawasan Mahkamah Agung berupa pengawasan internal dan sangat teknis. Menyangkut administrasi, finansial, dan teknis yuridis. Sementara pengawasan Komisi, lebih bersifat melihat kinerja hukum dan mengawasi perilaku para hakim.

Terkait masalah penyimpangan perilaku Hakim baik di pusat maupun di daerah, kedua lembaga tersebut memiliki kewenangan yang sama, sehingga masyarakat dapat melakukan pengaduan atau pelaporan baik ke Komisi Yudisial maupun ke Mahkamah Agung.

Batasan perilaku hakim adalah adanya tingkah laku. Sementara, mengenai putusan, bukan lah merupakan perilaku hakim tapi berkaitan dengan kemampuan hukum dari seorang Hakim. Apabila berkaitan dengan kemampuan, maka Hakim dapat diberhentikan jika putusannya tidak benar, dan ini dikontrol oleh Mahkamah Agung sebagai atasan dari Hakim.

Namun apabila suatu putusan yang diputuskan disebabkan atau dipengaruhi oleh adanya suap menyuap, maka Komisi Yudisial bisa memanggil hakim, baik berdasarkan laporan masyarakat maupun bukti-bukti yang dimiliki Komisi. Kewenangan tersebut berlaku untuk siapapun, karena perilaku hakim yang dilihat, meskipun itu keputusan Mahkamah Konstitusi. Namun yang diteliti dan di telaah adalah perilaku menyimpang dari Hakim bukan putusan yang diakibatkan oleh penyimpangan perilaku tersebut.

Contoh:

Hakim A memeriksa perkara Tindak Pidana Korupsi yang terdakwanya adalah si B. Terdakwa B adalah seorang pengusaha sukses sehingga melakukan perbuatan yang melanggar hukum, yaitu menyuap Hakim A. Karena Hakim A menerima suap dari Terdakwa B sehingga berjanji akan membebaskan dari pidana atau memperingan pidananya. Dan memang kemudian, dalam pembacaan putusan Terdakwa B dibebaskan dari pemidanaan.

Maka yang dapat dilaporkan ke Komisi Yudisial dan/atau ke Mahkamah Agung adalah perilaku menerima suap dari Terdakwa B, bukan putusan pada perkara tersebut. Mengapa demikian?

Karena terhadap putusan pengadilan, Undang-undang dalam hal ini adalah KUHAP, telah menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan dapat diajukan upaya hukum yaitu Banding ke Pengadilan Tinggi dan Kasasi ke Mahkamah Agung serta Upaya Hukum Luar Biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

Di dalam Pedoman Perilaku Hakim ditegaskan bahwa :

“Keadilan merupakan kebutuhan pokok rohaniah setiap orang dan merupakan perekat hubungan sosial dalam bernegara. Pengadilan merupakan tiang utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta dalam proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas Negara. Hakim sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian pemasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Putusan Pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan keadilan yang dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia dan vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi Hakim, Baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma-normaetika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat.

Adapun Pedoman Kode Etik bagi Hakim, yaitu sebagai berikut:

1.Berperilaku Adil

Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.

Termasuk di dalam kategori berperilaku adil adalah bahwa Hakim tidak boleh memberikan kesan bahwa salah satu pihak berada dalam posisi yang istimewa, seorang Hakim harus menyingkirkan perasaan pribadinya dan tidak boleh bersikap berdasarkan perbedaan atau persamaan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan).

Di dalam praktek peradilan, terkadang Hakim sebagai seorang manusia biasa juga memiliki rasa marah dan kesal apabila di dalam pemeriksaan, dalam perkara pidana khususnya, ada perkataan dari terdakwa atau saksi yang sebenarnya menggambarkan ketidaktahuannya sehingga beberapa Hakim berpendapat atas ketidaktahuannya tersebut menghambat pemeriksaan, dimana Hakim tersebut muncul amarah di dalam dirinya dan melontarkan kata-kata kasar. Maka hal tersebut juga merupakan sesuatu yang dilarang oleh Pedoman Perilaku Hakim.

Berperilaku adil mengandung makna pula bahwa Hakim wajib mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memberikan keterangan.

Termasuk di dalamnya berlaku adil adalah bahwa Hakim dilarang bertemu dengan salah satu pihak tanpa diketahui oleh pihak lainnya. Sehingga pertemuan hakim dengan pihak harus lah dilakukan dengan terbuka. Hal tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan penyimpangan perilaku yang dapat merugikan salah satu pihak.

2.Berperilaku Jujur

Kejujuran pada hakekatnya bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil.

Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan. Serta meninggalkan sikap yang tercela atau menimbulkan kesan tercela.

Penerapan dari makna Berperilaku Jujur adalah bahwa Hakim tidak boleh dan dilarang meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari :

a.Advokat;

b.Penuntut;

c.Orang yang sedang diadili;

d.Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili; atau

e.Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.

Dan bukan hanya Hakim yang tidak boleh menerima atau meminta, namun suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya.

Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Sebagai bentuk dari realisasi perilaku jujur seorang Hakim, maka Hakim diwajibkan untuk melaporkan secara tertulis pemberian yang termasuk gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan sebelum dan setelah menjabat tanpaditunda-tunda, bersedia diperiksa kekayaan segera setelah memangku jabatan dan setelah menjabat, serta wajib melakukan segala upaya untuk memastikan kewajiban tersebut dapat dijalankan secara baik, apabila diperlukan oleh pihak yang berwenang, hakim harus bersedia diperiksa kekayaanya pada saat atau selama memangku jabatan.

3.Berperilaku Arif dan Bijaksana

Arif dan bijaksana pada hakekatnya bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya.

Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempuyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.

4.Bersikap Mandiri

Mandiri pada hakekatnya bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun.

Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.

Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun.

5.Berintegritas Tinggi

Integritas tinggi pada hakekatnya bermakna mempuyai kepribadian utuh tidak tergoyahkan, yang terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai- nilai atau norma- norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.

Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.

Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan baik karena hubungan pribadi, hubungan finansial dan kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan.

Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, Ketua Majelis, Hakim anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara tersebut

Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan.

Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila Hakim tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan. Hal tersebut dimaksudkan agar Hakim tidak mengambil kesimpulan dan menjatuhkan putusan berdasarkan dugaan atau prasangka, karena kesimpulan dan putusan harus didasarkan pada bukti dan fakta yang terungkap di persidangan dan bukan karena ada terlebih dahulu di media massa atau gosip yang beredar di masyarakat.

6.Bertanggungjawab

Bertanggung jawab pada hakekatnya bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan semua tugas dan wewenang sebaik mungkin serta bersedia menangung segala akibat atas pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut.

Rasa tanggung jawab akan mendorong terbentuknya pribadi yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, penuh pengabdian, serta tidak menyalahgunakan profesi yang diamanatkan.

Seorang Hakim dilarang untuk melakukan penyalahgunaan jabatan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi atau pihak lain. Dan Hakim juga dilarang untuk mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat rahasia, yang di dapat dalam kedudukan sebagai Hakim, untuk tujuan yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.

7.Menjunjung Tinggi Harga Diri

Harga diri pada hakekatnya bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi.

Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabatnya sebagai aparatur Peradilan.

Hakim harus mejaga kewibawaan serta martabat lembaga Peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan, selain daripada itu, Hakim juga harus menjaga sikap baik di dalam menjalankan profesi jabatannya maupun di dalam lingkungan masyarakat dimana ia berdomisili.

Pada prinsipnya, seorang Hakim tidak dilarang untuk melakukan usaha lain atau bisnis untuk menopang tingkat perekonomiannya. Namun Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan transaksi usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi sebagai Hakim ataupun pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkara.

Namun demikian, ada kelonggaran bagi seorang Hakim bahwa seorang Hakim dapat memberikan nasehat hukum secara cuma-cuma atau gratis kepada anggota keluarga atau kepada teman yang tengah menghadapi masalah hukum.

Mantan Hakim sangat dianjurkan dan sedapat mungkin tidak menjalankan pekerjaan sebagai Advokat yang berpraktekdi Pengadilan terutama di lingkungan peradilan tempat yang bersangkutan pernah menjabat, sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun setelah memasuki masa pensiun atau berhenti sebagai Hakim.

8.Berdisiplin Tinggi

Disiplin pada hakekatnya bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka seorang Hakim harus sangat memahami hukum acara sehingga dapat menerapkan hukum dengan benar. Hal tersebut bertujuan agar Hakim dapat mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan.

Bahkan seorang Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9.Berperilaku Rendah Hati

Rendah hati pada hakekatnya bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas.

Hakim harus melaksananakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga seorang Hakim dituntut untuk tidak boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari siapapun juga.

10.Bersikap Profesional

Profesional pada hakekatnya bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.

Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.

Sehingga sebagai Hakim, haruslah melakukan pembelajaran terhadap dirinya sendiri. Menggali ilmu sebanyak-banyak untuk meningkatkan kualitas keilmuannya sebagai seorang Hakim. Hakim yang memiliki tingkat keilmuan yang luas dan dalam akan mampu melaksanakan tugas-tugas peradilan dengan baik.

Dengan demikian, seorang Hakim tidak boleh bersikap seolah-olah menjadi seseorang yang paling paham dan paling tahu soal hukum, walaupun Hakim wajib mengetahui setiap permasalahan hukum, namun dilarang untuk bersikap sok tahu.

Di dalam Pedoman Perilaku tersebut bahkan menegaskan bahwa sesama Hakim yang mengetahui dan membiarkan adanya pelanggaran kode etik Hakim, akan dianggap tidak sejalan dengan semangat membela Korps

Terhadap perilaku Hakim yang menyimpang, sehingga menimbulkan suatu putusan yang merugikan pihak-pihak lain atau masyarakat, maka dapat diadukan melalui Komisi Yudisial selain juga dapat melaporkan melalui Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI.

Adapun Komisi Yudisial bearalamat di Jalan Kramat Raya No. 57, Jakarta Pusat, Telp. (021)3905876; Fax. (021)3906215; PO BOX 2685; Email : kyri@komisiyudisial.go.id atau http://203.142.65.118/pengaduan/pengaduan_online/index.php. Dimana Anda harus mendaftarkan diri terlebih dahulu. Sehingga Anda akan mempunya username login dan password (kata kunci) agar dapat melakukan pengaduan secara online.

Sedangkan untuk pengaduan melalui Mahkamah Agung, maka di tujukan kepada Ketua Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI di Jalan Medan Merdeka Utara NO.9-13 Blok H, Tromol Pos No.1020-JAKARTA 10010, Telp/Fax : 021-3810360, 3446306 atau melalui http://bawas.mahkamahagung.go.id/

Berikut ini adalah tata cara pengaduan melalui Komisi Yudisial terhadap penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh oknum hakim:[1]

1.Laporan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pelapor atau kuasanya dalam rangkap delapan, yang memuat:

a.Identitas pelapor yang lengkap (fotokopi KTP);

b.Uraian mengenai hal yang menjadi dasar laporan;

c.Alasan laporan yang diuraikan secara jelas dan rinci beserta alat bukti;

d.Hal-hal yang dimohonkan untuk diperiksa dalam laporan tersebut;

e.Laporan ditandatangani oleh pelapor atau kuasanya.

2.Selain dalam bentuk tertulis dapat juga diajukan dalam format digital seperti disket, CD (compact disc) atau yang serupa dengan itu;

3.Laporan disampaikan kepada Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial;

Setelah laporan tersebut masuk ke Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, maka proses pemeriksaan pelaporan tersebut adalah sebagai berikut:

1.Sekretariat Jenderal akan memeriksa seluruh kelengkapan yang mendukung laporan;

2.Sekretariat Jenderal menerbitkan surat registrasi laporan masyarakat dan meneruskan laporan tersebut kepada anggota Komisi Yudisial untuk menetapkan dapat atau tidaknya laporan itu ditindaklanjuti;

3.Setiap temuan fakta-fakta dimusyawarahkan dalam rapat pleno untuk diambil putusan;

4.Apabila rapat pleno memutuskan bahwa temuan tersebut tidak memiliki dasar hukum maka temuan tidak ditindaklanjuti;

5.Apabila laporan yang telah dicatat dalam buku registrasi laporan masyarakat ditarik kembali oleh pelapor, maka Sekretaris Jenderal menerbitkan surat pembatalan registrasi laporan yang telah diajukan pelapor dan diberitahukan kepada pelapor disertai dengan pengembalian berkas laporan;

6.Apabila rapat pleno memutuskan bahwa temuan tersebut memiliki dasar hukum, berkas temuan diserahkan kepada Sekretariat Jenderal untuk dibuatkan surat registrasi laporan dan dicatat dalam buku registrasi laporan masyarakat;

7.Sekretaris Jenderal segera menyampaikan berkas laporan dan/atau temuan yang dapat ditindaklanjuti kepada pimpinan, kemudian pimpinan menetapkan susunan pemeriksanya;

8.Pemeriksa menetapkan hari pemeriksaan setelah laporan dan/atau temuan dicatat dalam buku registrasi pengaduan masyarakat;

9.Penetapan hari pemeriksaan diberitahukan kepada pelapor, terlapor serta diumumkan kepada masyarakat dengan menempelkan pada papan pengumuman yang khusus dibuat untuk itu, dalam situs Komisi Yudisial, serta disampaikan kepada media massa;

10.Pemberitahuan tersebut harus sudah diterima oleh pelapor atau kuasanya dan/atau terlapor atau kuasanya, paling lambat tiga hari sebelum pemeriksaan dilakukan;

11.Pemeriksaan dilakukan secara tertutup untuk umum oleh pemeriksa. Adapun pemeriksaan yang dilakukan berupa:

a.Pemeriksaan laporan dan/atau temuan tentang dugaan pelanggaran kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;

b.Pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;

c.Mendengarkan keterangan pelapor dan terlapor;

d.Mendengarkan keterangan saksi;

e.Mendengarkan keterangan ahli;

f.Pemeriksaan rangkaian data, perbuatan, keadaan dan/atau peritiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk;

g.Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu;

h.Apabila dipandang perlu, pemeriksaan dapat diikuti dengan pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh anggota Komisi Yudisial yang ditunjuk dengan didampingi oleh sekretaris jenderal atau pejabat lain yang ditunjuk oleh pimpinan Komisi Yudisial;

12.Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan yang ditandatangani oleh pemeriksa dan yang diperiksa pada saat itu juga dan dilaporkan dalam rapat pleno;

13.Tindasan (surat tembusan) Berita Acara Pemeriksaan diserahkan kepada yang diperiksa dan Berita Acara Pemeriksaan tersebut bersifat rahasia;

14.Setelah itu Komisi Yudisial melakukan pengambilan putusan yang dilakukan secara musyawarah mufakat dan bila tidak tercapai pengambilan putusan dilakukan dengan suara terbanyak;

15.Apabila hasil putusan memutuskan laporan ditindaklanjuti, maka putusan disampaikan kepada pimpinan Mahkamah Agung dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang isinya berupa rekomendasi mengenai jenis dan kualitas pelanggaran dan sanksi yang dikenakan, dengan tembusannya kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat;

16.Apabila putusan rapat pleno menyatakan terlapor tidak bersalah melanggar kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, maka Komisi Yudisial wajib memulihkan nama baiknya melalui media massa;

17.Akan tetapi jika putusan rapat pleno menyatakan terlapor terbukti bersalah maka Komisi Yudisial dapat memberikan usulan/rekomendasi  sanksi kepada ketua Mahkamah Agung dan ketua Mahkamah Konstitusi, berupa :

a.teguran tertulis;

b.pemberhentian sementara;

c.pemberhentian.

18.Apabila rekomendasi Komisi Yudisial berupa pemberhentian sementara atau pemberhentian maka hakim yang diduga melakukan pelanggaran tersebut dapat melakukan pembelaan di muka majelis kehormatan hakim.

Berdasarkan Pasal 11A ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ditegaskan sebagai berikut:

“Hakim Agung hanya dapat diberhentikan tidak dengan hormat dalam masa jabatannya apabila:

a.

Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

b.

Melakukan perbuatan tercela;

c.

Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3 (tiga) bulan;

d.

Melanggar sumpah atau janji jabatan;

e.

Melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline