Hingar bingar Pilpres masih belum redup. Malah menurutku seperti api dalam sekam. Masih ada bara panas yang membara dari pihak yang tidak puas. Bisa saja bara ini akan membesar dan membakar segala yang ada. Pemilu ini sudah dicurangi, katanya. Pemilu ini hasilnya tidak bisa diterima, makanya mereka pergi meninggalkan arena pertarungan terakhir. Namun hasil sudah diputuskan, si Kurus adalah pemenangnya.
Spekulasi terus beredar. Ada berita-berita baru yang menceritakan kecurangan itu. Kedua pendukung masih rajin saling mengutarakan opininya. Tidak jarang mereka saling menghujat, membenarkan jagoan mereka masing-masing. Permintaan PEMILU ulang terus menggaung. Ah, entah berapa banyak lagi APBN dialokasikan untuk pengulangan PEMILU ini. Tidakkah mereka peduli akan ini? Atau mereka akan terus berkelahi? Hingga yang menang jadi arang dan yang kalah menjadi abu. Negeri ini masih carut marut. Masih harus berbenah sana-sini. Akan berapa lama lagi drama Pilpres ini menyita perhatian kita? Akankah sang Jenderal keukeuh tidak terima dengan hasil Pilpres?
Dipungkiri atau tidak, Pilpres kali ini memiliki magnet yang luar biasa. Orang-orang yang biasanya apatis tergerak untuk berpartisipasi dan beropini. Saya terus terang kaget, teman-teman seniman saya ramai-ramai mendukung si Kurus. Efek si Kurus memang luar biasa, eits jangan marah dulu para pendukung sang Jenderal. Coba anda pikir-pikir, bukankah kampanye ini selalu tentang si Kurus? Si Metro adalah televisi pendukung si Kurus, isi beritanya membuat imej si Kurus ‘Bagus’. Dan sebaliknya si One televisi pendukung sang Jenderal, isi beritanya selalu menjelek-jelekan si Kurus. Sangat sedikit sekali berita yang membagus-baguskan sang Jenderal.
Isu kampanye si Kurus adalah tentang merubah kualitas manusia Indonesia, yang mereka sebut dengan Revolusi Mental. Sebuah tema yang selalu digaungkan oleh idola saya, jubir si Kurus. Namun gaya si Kurus yang agak klemar-klemer membuat opini baru. Si Kurus itu lemah dan memiliki indikasi akan menjual aset bangsa ini. Dan sang Jenderal itu kuat, macan asia yang akan menakuti bangsa lain. Kalau sang Jenderal jadi presiden, bangsa lain akan takut sama kita, bangsa lain tidak akan lagi melecehkan kita. Sang Jenderal dinilai lebih mampu memelihara Harga Diri bangsa ini. Tidak seperti si Kurus yang diperintah ibunya, si Kurus itu anak mami rupanya. Dua gagasan, kualitas manusia (yang telihat lemah dan tidak menarik) versus harga diri bangsa (yang terlihat kuat dan merupakan isu penting).
Kampanye pilpres ini dipenuhi dengan hujatan dan makian. Teman-teman saya saling nyinyir bila pilihan mereka berbeda. Kedua belah pihak pendukung saling serang, mereka saling menanam kebencian. Tidak ada lagi rasionalitas, yang ada hanya kebencian. Kebencian itu bersifat mutlak, dia tidak memiliki mata. Bagi kebencian lawan adalah salah. Bagi pendukung sang Jendral si Kurus itu bodoh dan salah, begitu juga sebaliknya. Ah, arena Pilpres ini malah menjadi arena saling lempar kebencian.
Pemilu dan perhitungannya sudah selesai, tapi para pengemban kebencian masih melempar bara. Apakah yang kalian dapat dari meributkan kedua capres ini kawan? Tidakkah kalian lelah saling membenci? Baik sang Jenderal atau si Kurus, kalau mereka memang cinta dengan negeri ini mereka pasti tidak akan merusak negeri ini demi ambisi pribadi. Sepertinya tidak harus menjadi presiden untuk membuktikan cinta pada negeri ini. Semoga saja parade kebencian Pilpres ini segera berakhir.
Penulis adalah orang yang merasa gemas melihat teman-teman saya yang masih saling hujat di sosial media.
"Kebencian itu membutakan mata dan mematikan akal"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H