Pria itu berbicara dengan sangat antusias. Dengan mengenakan jas lab berwarna kuning menyala, dia mengantarkan kami menuju reaktor nuklir yang sudah berumur lebih dari dari 20 tahun. Dalam perjalanan menuju reaktor, alih-alih berbicara tentang fisika nuklir, pria tersebut justru berbicara tentang hantu-hantu yang menemaninya melakukan penelitian di waktu malam.
Saya dan rekan-rekan saya hanya bisa tersenyum dan terkekeh. “We’re talking about ghost inside a nuclear reactor with an engineer!!,”. Sungguh suatu momen yang menarik. Bahkan saya sempat berpikir, “Sebegitu menyedihkannya kah reaktor nuklir ini, sehingga ia dihuni oleh para hantu?,”
Sesampainya di reaktor nuklir, kami melihat semua struktur reaktor yang tadinya hanya bisa kami lihat gambarnya di buku-buku fisika SMA. Saat itu, semua tampak begitu mengagumkan bagi kami.
Reaktor yang kami lihat adalah reaktor nuklir untuk tujuan riset. Berbeda dengan reaktor nuklir yang menghasilkan energi listrik, reaktor ini justru memanen “neutron” yang dihasilkan dari reaksi fisi uranium untuk selanjutnya diubah menjadi radioisotop, sejenis zat yang digunakan untuk keperluan kedokteran, pertanian, dan bidang lainnya. Dan apa yang membuat saya kagum adalah radioisotop-radioisotop ini dieksport ke negara-negara tetangga, bahkan Jepang yang belakangan menutup semua reaktor nuklirnya.
Pria berjas kuning itu kemudian memberitahu kami bahwa reaktor riset ini kerjanya kurang lebih sama dengan reaktor untuk pembangkit energi (power plant). Hanya saja sebuah power plant memerlukan uranium yang banyak dan mengubah energi panas yang dihasilkan di reaksi fisi menjadi energi listrik. Sedangkan dalam reaktor riset, uranium yang digunakan lebih sedikit dan dia membuang energi panas yang dihasilkan.
Pria berjas kuning itu berargumen bahwa sebenarnya Indonesia mampu untuk membangun sebuah power plant karena infrastruktur dan sumber daya manusia nya sudah siap akan hal itu.
“Kita sudah menyiapkan proposal untuk pemerintah dan melakukan feasibility study. Namun isu energi nuklir adalah isu politik. Masih banyak orang yang tidak mendukung,”
Saya bertanya pada pria berjas kuning, “Seberapa efisien kah energi yang dihasilkan oleh sebuah reaktor nuklir?”
Namun ia menjawab, “Tolong jangan Anda tanyakan lagi. Banyak penelitian sudah menunjukkan bahwa energi nuklir itu paling efisien dibandingkan sumber energi yang lain. 1 gram uranium bisa menghasilkan ribuan watt dibandingkan satu gram batu bara,”
Pikiran saya berhenti sejenak, memikirkan potensi yang dimiliki oleh Indonesia ini. Berawal dari sebuah keingintahuan, saya meluncur ke dunia maya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam bidang keamanan energi di Indonesia.
Hasil riset jurnalistik saya menunjukkan bahwa Indonesia masih mengalami krisis energi. Berdasarkan data Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2014, hanya 80% kepala keluarga di Indonesia memiliki listrik. Ini berarti ada 1 dari 5 rumah di Indonesia yang seharian mati lampu. Saya tidak bisa membayangkan itu. Saya tinggal di Sumatera Utara dimana “mati lampu”seringkali terjadi dan itupun rasanya sungguh sangat memuakkan.
Di dalam krisis energi ini, ternyata terdapat masalah yang tidak kalah serius. Mayoritas sumber energi untuk daerah pulau Jawa dan Sumatra adalah batu bara. Pada tahun 2009, sekitar 21 juta ton batu bara dibakar untuk menghasilkan listrik. Tidak terbayang berapa molekul karbondioksida dihasilkan dari pembakaran tersebut.
Dan masalah yang tak kalah penting adalah tentang penggunaan BBM sebagai sumber energi listrik di pulau-pulau lain selain Jawa dan Sumatera. Pada tahun 2011, biaya pengadaan listrik dari sumber energi ini adalah yang termahal, yaitu di atas 4000 rupiah/kWh. Mengingat mahalnya sumber energi ini, saya kira sulit untuk menyalakan lampu seluruh rumah di pulau-pulau non Jawa dan Sumatra.
Mengingat urgensi permasalahan energi negara kita, saya pikir wajar jika para ilmuwan nuklir mengajukan proposal untuk pembangunan reaktor energi nuklir. Dibandingkan harga sumber energi yang lain, nuklir adalah yang paling murah, yaitu Rp. 540/kWh. Contoh suksesnya adalah Prancis, negara yang menjadikan nuklir sebagai sumber utama energi listrik. Dengan banyaknya listrik yang dihasilkan, prancis sampai harus/bisa mengekspor listrik ke negara lain.
Walaupun begitu, pembangunan reaktor energi nuklir memang sangat mahal. Berdasarkan Nuclear Technology Review 2009, biaya terendah untuk negara Asia adalah sekitar 30 trilyun rupiah. Namun jumlah ini masih jauh di bawah dana yang dikucurkan pemerintah untuk meningkatkan pasokan listrik tahun ini melalui sumber energi lainnya (batu bara, angin, BBM, gas) yaitu sebesar 91 trilyun rupiah.
Pembangunan reaktor energi nuklir sangat mungkin dilakukan di Indonesia. Infrastruktur teknologi ini sudah ada sejak tahun 1955. Apalagi Indonesia juga mempunyai sumber-sumber uranium dan thorium yang melimpah di Kalimantan Barat dan Pulau Bangka.
Semua data-data ini menunjukkan bahwa teknologi nuklir bisa mengatasi permasalahan energi di Indonesia. Semua hanya tinggal menunggu Presiden kita berkata “ya”. Namun, seperti yang dikatakan oleh pria berjas kuning, masalah nuklir juga adalah masalah politik.
Sepulangnya dari kunjungan saya di reaktor nuklir, saya mempresentasikan data ini di depan rekan-rekan jurnalis. Salah seorang wartawan lingkungan senior mengkritisi presentasi saya,
“You’re brainwashed by them! Nuklir itu tidak murah dan Indonesia hanya akan mengimpor teknologi-teknologi lama dari Cina dan Rusia,”
Saya hanya bisa terdiam. Terbayang dalam otak saya pria berjas kuning dan hantu-hantu yang menemaninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H