Lihat ke Halaman Asli

Belajar Toleransi dari Sunan Kalijaga

Diperbarui: 22 April 2018   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: islamnusantara.com

Sunan Kalijaga adalah satu dari sembilan wali yang kemudian dikenal sebagai Wali Songo. Beliau dilahirkan di Tuban sekitar tahun 1460 dengan nama Raden Said dan dari cerita yang berkembang diperkirakan lebih dari satu abad. Ada dua pendapat yang berkembang menyatakan Sunan Kalijaga merupakan orang Jawa asli (berdasarkan Babad Tuban) dan ada yang berpendapat beliau keturunan Arab (keterangan Van den Berg, penasihat khusus Kolonial Belanda). Ayahnya, Aria Teja alias Abdul Rahman, diyakini memiliki silsilah Ibnu Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. 

Dikisahkan bahwa masa muda Raden Said seperti Robin Hood-nya Jawa, ia menjarah dan merampok harta orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin. Bahkan saking ulungnya ia selalu berhasil dalam melancarkan aksinya tanpa tertangkap. Suatu ketika saat sedang berada di hutan belantara, ia melihat orang tua membawa tongkat yang terlihat seperti tongkat emas. 

Raden Said muda berusaha merampoknya namun kemudian orang tua tersebut justru menasihati bahwa cara yang dilakukannya adalah salah meskipun tujuannya kebaikan. Orang tua tersebut justru memberi tahu Raden Said supaya mencari pohon aren emas dan mengambil buahnya untuk dibagikan daripada menjarah. Raden Said kemudian memutuskan untuk belajar dari orang tua tersebut dan menjadi muridnya. Orang tua tersebut memberi tugas Raden Said untuk menjaga tongkat di pinggir sungai selama ia pergi.

Konon dikisahkan bahwa saat orang tua tersebut kembali dari perjalanannya, tubuh Raden Said yang berjaga sampai ditumbuhi akar dan lumut. Orang tua tersebut kemudian menamakan Raden Said sebagai Sunan Kalijaga (dalam bahasa Jawa "Kali" adalah sungai, "Jaga" artinya menjaga, melindungi). Orang tua tersebut adalah Sunan Bonang dan merupakan salah satu dari Wali Sanga yang dikenal sekarang.

 Kisah tersebut cukup populer di kalangan anak muslim yang hidup di Jawa meskipun kini ada yang meragukan keaslian kisah tersebut karena bersifat terlalu dilebih-lebihkan. Namun, kisah lain yang populer dari Walisongo terutama Sunan Kalijaga adalah metodenya dalam menyebarkan agama Islam. Walisongo dikenal sebagai sembilan orang dengan pengetahuan dan ilmu di atas rata-rata namun memilih menyebarkan Islam di Nusantara (terutama Pulau Jawa) dengan jalan kedamaian. 

Kembali ke Sunan Kalijaga, dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Sunan Kalijaga banyak berkeliling dan masuk ke pelosok daerah untuk mempelajari kebudayaan, tingkah laku, dan kebiasaan masyarakat Jawa Kuno. Melalui pengalamannya tersebut beliau memadukan dengan Syiar Islam tanpa mengubah esensi dari Islam itu sendiri. Beliau sadar bahwa masing-masing daerah mempunyai kearifan lokal dan identitas masing-masing. 

Tujuannya bukanlah merubah identitas tersebut namun ingin Islam dapat diterima dalam kehidupan masyarakat Jawa kala itu. Sunan Kalijaga kemudian kerap menyelipkan ajaran dan apa itu Islam melalui seni Wayang Kulit yang menjadi kegemaran masyarakat Jawa. Melalui alat musik tradisional,  beliau memadukan gamelan dengan tembang atau lagu-lagu daerah yang memiliki makna mendalam tentang pujian kepada Allah SWT seperti Gundul-Gundul Pacul, Sluku-Sluku Bathok dan Lir-Ilir. Karya tulis yang terkenal dari Sunan Kalijaga diketahui ada dua, yaitu Serat Dewa Ruci yang banyak berisi lakon wayang dan Suluk Linglung yang di dalamnya berisi perintah sholat dan berpuasa. 

Sunan Kalijaga banyak mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai. Ajarannya banyak dikenal sebagai Islam Nusantara yang samawi (langit) dan ardhi(bumi). Samawi adalah Islam itu sendiri dan ardhi adalah tempat dimana bumi dipijak, secara sederhana bisa bermakna ajaran langit yang membumi. Ya, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. 

Sunan Kalijaga bisa dikatakan adalah brand ambassador Islam yang berasal dari Nusantara, beliau mampu merepresentasikan ajaran syiar Islam tanpa menggunakan jalan kekerasan, namun tetap lugas. Beliau tidak berusaha mematikan atau menghilangkan budaya asal (selama itu tidak bertentangan dengan syariat Islam) karena sadar, beragama haruslah dari hati, jadi beliau harus membuat Islam itu masuk ke hati dahulu.

Ketika seorang umat yang dengan beringasnya memaki-maki dan menunjukkan keganasannya terhadap orang lain di sekitarnya, sebenarnya ia sedang menjadi brand ambassador yang buruk bagi Islam. Bagaimana orang lain bisa menerima Islam dengan baik jika sikap kita terhadap umat lain dan sesama umat justru saling berpecah-belah. Semoga kita bisa belajar dari cara Sunan Kalijaga dan Walisongo dalam mengislamkan Nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline