Lihat ke Halaman Asli

Negeriku oh Negeriku Part 1: Sopan atau Arogan?

Diperbarui: 18 Agustus 2015   17:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa terasa bulan depan tepat lima belas tahun sudah aku merantau di negeri orang. Kota Melbourne, Australia yang lima belas tahun lalu merupakan tempat asing bagiku kini sudah menjadi bagian hidupku sehari-hari. Terkadang ketika sesuatu sudah menjadi keseharian kita lantas menganggap semuanya menjadi biasa saja, rasa syukur seringkali terlupakan. Beruntung aku berkesempatan untuk pulang ke Indonesia saat Lebaran kemarin dan menghabiskan waktu selama sekitar satu bulan di tanah kelahiranku.

Tinggal selama sebulan di tanah air pada satu sisi membuatku bersyukur akan hidupku saat ini di sini, namun di sisi lain membuatku gundah karena ada hal-hal dan kebiasaan-kebiasaan di negeri ku tercinta yang merisaukan. Tulisan kali ini adalah luapan rasa galau, mungkin bagi sebagian orang apa yang hendak kutulis ini terasa bagai kritikan yang menyakitkan. Padahal tulisan ini akhirnya jadi juga aku buat karena kegelisahanku, kegelisahan yang muncul karena peduli, karena cinta cinta terhadap tanah airku Indonesia.

Namun jika memang dianggap menyakitkan, biarlah demikian sebab bukan tujuanku pula mengubah persepsi orang lain. Dan yang kutuliskan ini mewakili pula perasaan teman-temanku sesama orang Indonesia yang merantau di kota ini dan masih peduli terhadap tanah air kami. Perjalanan ku dan keluarga ku di Indonesia dimulai dari Jakarta, namun itu hanya sesaat sebab kami lalu melanjutkan perjalanan kami ke Yogya untuk mengunjungi beberapa kenalan di kota itu.

Selama berada di Yogya kami menginap di sebuah hotel di Jl. Adi Sucipto. Di hotel itu pulalah kegelisahan hatiku mulai muncul. Setelah check-in kami menuju ke kamar lewat lift, lift itu tidak terlalu besar jika dibandingkan rata-rata lift di Melbourne. Berhubung pegawai hotel kala itu sangat sibuk maka daripada menunggu kami pilih membawa barang sendiri. Kami masuk ke lift dan tak tak ada orang lain yang menunggu, menjelang pintu lift ditutup seorang ibu berlari kecil maka suamiku pun menekan tombol untuk menahan lift. Ternyata si ibu bersama keluarganya. Dilihat saja sudah jelas akan sangat memaksa jika mereka semua ditambah kami yang sudah ada di dalam lift naik bersamaan.

Namun rupanya si ibu menghendaki seluruh keluarganya naik lift tersebut, aku yang membawa bayi berusia lima bulan dalam gendongan terdesak ke belakang. Karena si ibu dan keluarganya ini nampak tak peduli maka dengan sedikit panik aku bilang: Aduh, maaf hati-hati ada bayi! Si ibu justru melirik dengan sinis kepadaku lalu berkata pada salah satu anggota keluarganya yang masih ada di luar lift: Sudah masuk..masuk masa lift segini ngga cukup? Kala itu aku sadar suamiku tampak naik pitam, sebab sebelumnya dia sudah sempat jengkel dengan serobotan antrian berkali-kali di resepsionis yang tak pernah kami alami selama lima belas tahun di Melbourne.

Melihat suamiku yang tampak sudah mulai hilang kesabaran aku pun memegang tangannya berusaha menenangkan sambil menjaga anak dalam gendonganku agar tidak terhimpit oleh orang-orang dewasa. Situasi ini sungguh mengagetkan bagi kami berdua. Di Melbourne ibu hamil dan ibu yang menggendong bayi selalu didahulukan. Di dalam lift, di jalan maupun di dalam alat transportasi publik. Ketika aku naik ke dalam tram misalnya, sekalipun masih ada tempat duduk namun lokasinya susah dijangkau maka beberapa orang yang sudah duduk pasti segera berdiri tanpa diminta dan mempersilakan aku untuk duduk.

Kalau aku sedang tidak menggendong bayi mungkin situasi di lift tadi aku maklumi, mungkin si ibu khawatir kalau anggota keluarganya kesasar jika tidak naik lift bersama-sama. Namun karena membawa bayi, rasanya wajar jika aku mengkhawatirkan keselamatan anakku.

Kejadian tersebut hanyalah permulaan dari jurnalku selama sebulan di tanah air. Kebiasaan lain yang mungkin jarang disadari oleh sebagian besar dari kita adalah sebuah kebiasaan buruk yang rasanya sudah membudaya: kebiasaan mengumpat. Betapa terkejutnya aku setelah sekian lama tidak berada di tanah air dan menyadari bahwa umpatan menjadi bagian keseharian masyarakat di sana (Indonesia). Mulai umpatan dalam bahasa lokal, dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Baik yang sedikit halus seperti (maaf) Asem! hingga yang lebih kasar seperti kosa kata yang berkaitan dengan kebun binatang.

Ironisnya kebiasaan ini bukan hanya dilakukan oleh mereka yang kurang berpendidikan namun juga oleh mereka yag cukup berpendidikan. Entahlah, mungkin masyarakat terlalu sering nonton film asing dan menerimanya mentah-mentah atau memang sudah membudaya dari awalnya. Di film-film sering kita dengar umpatan-umpatan sepertin fk, s..t dan sebagainya.

Mungkin hal itu terdengar keren bagi telinga penonton sehingga begitu saja menirukan. Mengingat sebagian film asing tersebut berasal dari AS, aku tak bisa menjawab apa hal-hal tersebut (umpatan dalam film) adalah sebuah kewajaran yang memang terjadi di sana. Namun yang pasti di Melbourne dan Australia pada umumnya kata-kata umpatan macam ini dan sejenisnya hampir tidak pernah diucapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ya, beberapa kali memang umpatan tersebut terdengar di tempat-tempat umum, tapi tebak siapa yang melakukannya? Orang Asia! Orang Asia yang notabene adalah orang Timur yang mengklaim serta mengaggung-agungkan diri lebih mengerti sopan santun ketimbang orang Barat! Unbelievable! yah itulah kata yang sering digunakan Melbournian ketika mereka betul-betul jengkel terhadap sesuatu atau sekedar menggelengkan kepala, pastinya bukan kata-kata umpatan kasar yang sering dipertontonkan oleh film-film Barat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline