Pengguna sosial media akhir-akhir ini, disuguhkan dengan fenomena mengenai para remaja berpakaian nyentrik yang memadati kawasan Dukuh Atas, Sudirman, yang dikenal dengan istilah Citayam Fashion Week.
Sebelum fenomena ini booming, terlebih dahulu kita pernah diramaikan juga dengan fenomena flexing yang di mana sangat mempengaruhi anak muda, sehingga menimbulkan keinginan untuk menjadi kaya raya dengan cara yang instan. Menaikkan derajat sosial alias pansos (panjat sosial) menjadi salah satu alasannya mereka rela untuk melakukan hal demikian.
Semua orang dihinggapi sindrom ingin tampil. Mungkin itu kenyataan yang harus kita akui, mengapa demikian? Dahulu, untuk bisa tampil dan dikenal orang (masuk tv atau pun koran) perlu proses yang panjang, karena medianya tidak banyak. Namun sekarang, semua media telah tersaji digenggaman setiap individu.
Bila melihat secara sosiologi, fenomena Citayam Fashion Week ini merupakan hal yang wajar, karena hal ini didasarkan pada naluri manusia sebagai makhluk sosial untuk membentuk kelompok sesuai karakteristik dan tujuan tertentu. Demikian juga dengan fenomena flexing itu pun wajar karena mereka ingin diakui dan konten yang mereka buat memang menjadi salah satu konten yang cukup populer dan banyak diunggah di dunia maya.
Dengan adanya dunia maya yang menawarkan kelebihan di mana anda bisa menjadi siapapun dan melakukan apapun tentunya punya nilai tawar tersendiri bagi seorang individu. Eksistensi diri menjadi salah satu motif yang timbul sehingga banyaknya orang ramai-ramai melakukan hal yang serupa. Salah satu kebutuhan dasar seorang manusia ialah penghargaan. Sehingga bagi mereka yang gagal mendapatnya di dunia nyata, bisa mencobanya kembali di dunia maya. Salah satu caranya adalah dengan membagikan kesukaan atau hal yang dianggapnya akan menarik banyak perhatian.
Masifnya keberadaan sosial media menjadi wadah yang mempengaruhi setiap orang, terutama mereka yang sangat memerlukan jalan untuk dapat berkreasi. Meskipun kepopuleran itu menuai banyak pro dan kontra. Citayam Fashion Week sejatinya memiliki sisi positif, dimana mereka dapat menjadi lebih memahami kehidupan bersosial, keberadaan mereka ini juga meningkatkan penghasilan para Pedagang Kali Lima (PKL) yang berada di sekitar Sudirman. Namun, ada sisi negatif yang harus dibenahi yaitu budaya ketertiban, membuat macet dan mengganggu jalannya lalu lintas, bahkan cara mereka berpakaian pun cenderung terlalu terbuka. Hal ini sejatinya perlu dibenahi oleh berbagai pihak (termasuk pemerintah) guna dapat mengurangi dampak negatif.
Lain hal dengan flexing, dalam psikologi klinis, perilaku flexing dikaitkan dengan rasa tidak aman atau insecurity yang dimiliki seseorang. Sehingga ada dorongan untuk memamerkan apa yang menurutnya unggul pada orang lain. Ada rasa tidak percaya diri yang timbul dalam dirinya. Dengan teknologi pengedit foto dan video yang makin canggih, seseorang yang dalam kesehariannya mungkin biasa saja bisa menampilkan foto bak sultan yang keren dan kaya raya. Itu semua demi derajat sosial yang semu. Untuk dapat menipu orang banyak dengan iming-iming menjadi kaya secara instan. Karena ada kecendrungan dilakukan untuk menipu dengan jalan mempengaruhi orang lain dengan kekayaan. Maka fenomena ini perlu di waspadai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H