Lihat ke Halaman Asli

Menyongsong Tahun Ajaran Baru: Refleksi Kesalahan Pelaksanaan Kurikulum Merdeka

Diperbarui: 12 Juli 2024   19:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Memasuki tahun ajaran baru tentu membawa persiapan dan harapan baru. Bukan hanya peserta didik yang begitu antusias menyambut masuk sekolah, namun juga pendidik. Pendidik tentu memiliki persiapan tertentu dalam menyongsong tahun ajaran baru. Yang paling umum tentu saja menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau Modul Pembelajaran. Lebih dalam lagi, pendidik perlu menyiapkan diri lebih matang dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.

Kurikulum Merdeka sudah berjalan kurang lebih hampir dua tahun sejak dicanangkan dari Kurikulum Prototipe. Meski beberapa sekolah ada yang baru memulai menerapkan kurikulum ini pada tahun ajaran 2024/2025, namun akan menjadi wajib bagi seluruh sekolah untuk menggunakan Kurikulum Merdeka tahun 2027.

Kurikulum Merdeka sejatinya kurikulum yang menawarkan kebebasan dan fleksibilitas bagi pendidik dan satuan pendidikan dalam proses belajar mengajar. Hal ini karena memungkinkan pendidik untuk menyesuaikan materi, media, dan strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, minat, dan karakter peserta didik. Akan tetapi, karena diberikan kebebasan dan fleksibilitas tentu menimbulkan berbagai macam penafsiran dalam praktiknya. Sehingga tak ayal sering kali menemui beberapa kesalah pahaman dalam penerapan Kurikulum Merdeka. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui beberapa kesalahan dalam penerapan Kurikulum Merdeka agar kita para pendidik dapat lebih matang lagi dalam menerapkannya dan mencari solusi untuk mengatasi.

Salah satu penyebab utama kesalahan penerapan Kurikulum Merdeka adalah kurangnya pemahaman yang mendalam dari pihak guru mengenai konsep dan implementasi Kurikulum Merdeka itu sendiri. Banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan yang memadai untuk mengimplementasikan kurikulum ini dengan baik. Meskipun pemerintah sudah merilis Platform Merdeka Mengajar (PMM), namun banyak guru yang belum maksimal untuk memanfaatkan platform aplikasi tersebut. Pemerintah sebenarnya juga sudah menjembatani hal tersebut dengan melaksanakan Program Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, dan Komunitas Belajar namun kesalahan penerapan tentang Kurikulum Merdeka masih sering ditemukan. Adapun penulis akan merinci beberapa kesalahan yang sering ditemukan oleh penulis dan rekan guru yang lain di bawah ini.

Pertama, guru belum memahami Capaian Pembelajaran (CP) dan Alur Tujuan Pembelajaran (ATP) dengan baik. CP merupakan kompetensi yang harus dicapai peserta didik pada akhir fase, sedangkan ATP merupakan langkah-langkah atau strategi yang digunakan untuk mencapai CP. Kesalahan yang terjadi adalah guru belum mengetahui perbedaan tersebut, sehingga guru kerap kali membuat ATP tidak sesuai dengan CP sehingga tujuan pembelajaran tidak tercapai dengan optimal. Akhirnya guru hanya mengikuti dan menyalin saja template atau format ATP yang sudah ada dari guru atau sekolah lain tanpa mengetahui mau diapakan ATP itu akan dilaksanakan. Guru juga sering mengabaikan keterlibatan peserta didik dalam menyusun ATP, sehingga proses pembelajaran tidak menyesuaikan dengan kebutuhan dan karakter peserta didik. Hasilnya, guru dan peserta didik akan menemui kesulitan dalam mengaplikasikan kurikulum ke depannya.

Kedua, miskonsepsi pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi bukanlah menerapkan pembelajaran dengan mengelompokkan peserta didik berdasarkan kesamaan gaya belajar. Misal, peserta didik belajar hanya dengan menggunakan media audiotori saja karena mereka memiliki gaya belajar audiotori. Padahal tidak ada bukti ilmiah yang kuat dan meyakinkan gaya belajar peserta didik dapat mengoptimalkan proses belajar mereka. Bahkan hasil penelitian Rogowsky dkk (2015) mengatakan tidak ada kegunaan memberikan label kepada anak berdasarkan gaya belajarnya. Sebagai tambahan dari Furrey (2020) dalam majalah Education Next menyampaikan hasil penelitiannya di 29 negara bagian di Amerika Serikat, ternyata tidak ada hubungan antara gaya belajar dengan hasil belajar siswa. Hal terbaik adalah justru guru perlu menerapkan strategi belajar yang bervariasi dan berbeda-beda, termasuk menvariasikan konten, proses, dan produk pembelajaran agar peserta didik dapat meningkatkan pemahaman dan kompetensi pembelajaran.

Ketiga, lebih menfokuskan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)  pada hasil produk ketimbang proses. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila merupakan pembelajaran kolaboratif lintas ilmu  yang bertujuan untuk mendekatkan pembelajaran dengan kehidupan nyata. Sehingga pelaksanaannya mesti konstektual dengan kehidupan para pelajar. Hal ini dimaksudkan agar mereka dapat bernalar, berkolaborasi, dan berpikir kritis untuk memecahkan masalah yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tapi sayangnya, pelaksanaan projek ini acapkali lebih menitik beratkan pada produk atau karya apa yang peserta didik dapat hasilkan. Seringkali malah dibuat semacam pameran atau bazar yang begitu meriah, yang malah seringkali jauh dari konstekual kehidupan peserta didik. Boleh-boleh saja sebenarnya mengadakan bazar, pameran produk P5 jika tujuannya untuk memotivasi, namun jangan sampai melupakan esensi bahwa projek ini harus lebih menitik beratkan pada proses yang peserta didik jalani. Proses yang seperti apa? Yaitu proses bagaimana peserta didik menjalani serangkaian kegiatan pengamatan, pengambilan data, pengolahan, eksekusi, evaluasi, dan refleksi. Yang tak kalah penting adalah, melibatkan mereka dalam penentuan tema projek, bukan sekadar tema dari pendidik atau sekolah.

Keempat, menganggap Komunitas Belajar (Kombel) merupakan kegiatan mewah dan mahal tanpa memahami esensi kolaborasi dan pertukaran pengetahuan. Sehingga seringkali, sekolah mengundang narasumber atau setiap kali melaksanakan Kombel, sekolah menyiapkan prasmanan yang banyak. Kalau seperti ini terus, tentu saja akan memberatkan sekolah dan pendidik, akhirnya Kombel menjadi vakum dengan alasan tidak memiliki narasumber atau dana. Padahal, pelaksanaan Kombel tak mesti mengundang narasumber, melainkan dapat dari pendidik di sekolah pendidik sendiri. Kegiatan Kombel yang semestinya adalah berbagai praktik baik dari guru-guru yang mengajar di sekolah mereka sendiri, saling bertukar ide inspirasi pembelajaran sesama guru, menginisiasi kolaboratif antar teman sejawat, dan saling merefleksikan praktik pengajaran yang telah dilakukan di dalam kelas.

Untuk memperbaiki kesalahan tersebut, sudah semesti harus berawal dari guru itu sendiri. Guru harus terus belajar dan tak bosan-bosan untuk terus memperbaiki diri. Guru perlu mengikuti berbagai pelatihan atau kegiatan tentang Kurikulum Merdeka baik yang diadakan oleh pemerintah ataupun melalui kelompok-kelompok belajar seperti MGMP atau Komunitas Belajar. Guru juga perlu memanfaatkan Platform Merdeka Mengajar dengan maksimal dengan mengikuti pelatihan, webinar yang di adakan di platform tersebut. Terakhir, guru perlu melakukan kolaborasi baik antar sesama guru maupun dengan peserta didik agar implementasi Kurikulum Merdeka sesuai dengan esensinya, yaitu pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline