Bicara mengenai Syair maka tidak lepas dari sesosok laki-laki yang bernama Chairil Anwar yang pandai merangkai syair-syair hebat, beliau adalah salah satu tokoh yang dikenal masyarakat Indonesia sebagai salah satu penyair terhebat di Indonesia sebagai Penyair Angkatan '45.
Karya-karyanya sudah banyak diterbitkan, membuat ia dijuluki sebagai seorang penyair legendaris yang dikenal dengan julukan "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul "Aku").
Chairil Anwar lahirkan di Medan Sumatera Utara 26 Juli 1922, Chairil memulai perjalanan pendidikannya berawal dengan masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu pada masa penjajahan Belanda.
Dan kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yaitu jenjang sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi ia keluar sebelum dinyatakan lulus. dan pada saat ini dia mencoba untuk memulai menulis sebagai seorang remaja, tetapi tak satu pun puisi awalnya yang dikenal.
Pada saat itu ia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama. seperti: Edgar du Perron, Archibald MacLeish, Rainer M. Rilke, W.H. Auden, dan H. Marsman, J. Slaurhoff. Para pengarang ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung pula dapat mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Bagaimana tidak ? melalui beberapa karang yang ia baca dari para pengarang Internasional membuat ia dapat berpikir luas mengenai dunia penulisan sastra
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra Indonesia setelah ia mempublikasikan puisinya yang berjudul Nisan pada tahun 1942, saat itu ia masih berusia 20 tahun dan hampir semua puisi-puisi yang dibuat olehnya merujuk kepada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Maka Chairil mencoba untuk memulai kariernya menjadi seorang penyiar radio.
Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta yaitu stasiun radio Jakarta Hoso Kyokan, Chairil mulai jatuh cinta pada Sri Ayati seorang gadis kelahiran Tegal, Jawa Tengah, tahun 1919. Sejak berumur delapan tahun, Sri Ayati dibawa oleh orang tuanya ke Jakarta dan tinggal di Gang Seha, Pecenongan, Jakarta Pusat.
Melalui profesi radio inilah mereka dipertemukan yang kini Jakarta Hoso Kyokan dikenal dengan nama RRI (Radio Republik Indonesia) di Jalan Merdeka Barat 4 - 5 , Jakarta Pusat.
Dengan keakraban mereka sebagai partner penyiar radio maka Chairil semakin dekat dengannya, hingga suatu hari Chairil pernah mengunjungi rumah kediaman Sri Hayati dengan penampilan yang compang-camping bak seorang seniman sejati yang kemudian Chairil bercerita panjang lebar kepada Sri dengan maksud untuk menyinggung Sri bahwa Chairil memiliki perasaan kepada Sri secara halus namun dengan begitu Sri tidak mengetahuinya. setelah beberapa hari kemudian Sri berpesan kepada Chairil agar tidak mengunjungi rumahnya lagi karena Sri mengaku sudah bertunangan dengan seorang dokter.
Mendengar perkataan itu Chairil langsung mengurungkan keinginannya untuk mencoba mencuri hati Sri maka Chairil pun mundur. Membawa hatinya yang galau dan rawan, Chairil berjalan-jalan hingga sampailah ia di pelabuhan Sunda Kelapa. Dari penghayatan dan perasaan hatinya karena ditolak Sri Hayati itulah, maka Chairil menulis puisi berikut :