[caption caption="sumber: bloomberg"][/caption]
Sampai dengan penghujung Februari 2016 ini, harga minyak masih terjerembab di kisaran U$30/barrel. Efek turunnya harga minyak sudah langsung dirasakan oleh industri migas. Rendahnya harga migas mendorong kontraktor hulu migas menurunkan aktivitas eksplorasinya. Beberapa perusahaan migas bahkan sudah mengajukan penawaran pensiun dini pada karyawannya. Jika untuk berproduksi saja dikurangi apalagi untuk keperluan eksplorasi. Padahal potensi minyak di Indonesia yang belum banyak digarap adalah di laut dalam Indonesia Timur, yang dari hitungan modal dan biaya produksinya jauh lebih besar.
Pada tataran negara, rendahnya harga minyak juga menekan ekonomi negara net eksportir minyak. Negara eksportir minyak seperti Arab Saudi dan Russia misalnya mempunyai fiscal break-even price (FBP) di kisaran minyak U$100 dollar. FBP adalah tingkat harga minyak yang menghasilkan keseimbangan dalam anggaran negara (APBN). Rendah nya harga minyak yang jauh di bawah FBP nya akan menyebabkan defisit anggaran pada negara bersangkutan.
Bagaimana dengan Indonesia? Harga minyak akan berpengaruh pada posisi fiskal APBN kita. Pada APBN 2016, asumsi dasar ekonomi makro, harga minyak ditetapkan US$50 per barel dengan lifting minyak sebesar 830 ribu bph. Dengan asumsi ini penerimaan dari migas ditargetkan Rp120 triliun. Artinya, jika harga minyak dibawah asumsi, maka negara akan berkurang pendapatannya.
Di sisi lain, ada hubungan antara harga minyak dengan harga komoditas seperti batubara, gas, dan sawit. Menurunnya harga minyak akan diikuti oleh komoditas ini. Padahal, kontribusi komoditas non migas ini bagi perekonomian Indonesia masih cukup tinggi.
Dari aspek lingkungan, rendahnya harga minyak juga kurang baik. Peningkatan penggunaan energi karena harganya murah akan berdampak pada meningkatnya emisi. Program pemerintah untuk menghemat energi juga akan semakin berat. Selain itu penurunan harga minyak juga akan berdampak pada pengembangan energi terbarukan khususnya biodiesel dan bioethanol. Dampak ini tidak terlalu terasa pada energi terbarukan untuk listrik seperti pembangkit tenaga angin dan solar. Hal ini karena jenis energi terbarukan ini tidak langsung berkompetisi dengan minyak.
Meskipun demikian, rendahnya harga minyak juga berpotensi untuk menjadi anugerah.
Turunnya harga minyak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pergeseran demand dan supply. Pada sisi supply, penurunan harga minyak dapat mengurangi biaya produksi, khususnya pada industri padat energi. Sebagian besar industri di negara berkembang seperti Indonesia lebih banyak mengkonsumsi energi dibanding negara maju. Di sisi demand, turunnya biaya produksi dapat menurunkan inflasi, dan secara tidak langsung dapat meningkatkan daya beli konsumen.
Turunnya harga minyak juga berdampak positif berupa pencabutan subsidi untuk bahan bakar seperti premium dan solar. Pada situasi di Indonesia, dampak pencabutan subdisi ini secara sosial juga dapat ditekan. Hal ini disebabkan pemerintah sudah menaikkan harga premium dan solar pada saat harga minyak mentah masih tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H