Lihat ke Halaman Asli

Robi Muhammad Affandi

Wiraswasta dan Penulis Media Online

Senja di Ujung Tali

Diperbarui: 13 Agustus 2024   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi, R.M. Affandi

"untuk apa duluku membangun tembok itu? Tak ada mentari yang terik bagiku. Tak ada hujan yang mendinginkan. Tak ada waktu senja. Tak ada malam yang benar-benar kelam. Dan tak ada hari minggu yang sesungguhnya.

"demi ratu di rumah itu, tak ada peluh yang asin bagiku. Tak ada rantau yang jauh, tak ada tanah yang berjembalang,  dan tak ada rimba yang bertuah.  Dua puluh tahun ku merangkak di tanah malaka agar ratu adan anaknya layak disebut manusia.

"kutinggalkan Ranah Minang. Kutukar tepian mandi ke rantau orang. Ku lupakan kampung yang menimangku hingga bujang. Kulepas gelar mamak di kampung, ku pilih gelar budak di negeri orang, agar hidupnya sama dengan hidup orang.

"tak tau ku kapan Abak meninggal, tak jelas kapan Amak dikubur, demi tersumpal perut kosong kau dan anakmu, lupaku dengan tangan yang membesarkanku. Berdosaku pada Abak dan Amak, lupaku tanggung jawab sebagai anak, aku yang anak semata wayang tak ikut sembahyang saat beliau terbujur di Surau gadang.

Begitulah rangkaian keluhan-keluhan Pak Sanib yang sering terdengar di kala senja, saat ia merenung di depan pintu rumahnya. Laki-laki tua itu seakan tak pernah mendapati kebahagiaan di usianya yang telah mendekati tujuh puluhan.  

Belum lebih sepuluh tahun Pak Sanib hidup dikampung. Rumah yang selalu ia bayangkan sebagai tempatnya beristirahat di kala tua, terasa bagai neraka yang tak sedikitpun memberi kenyamanan. Bangunan yang ia bangun dari hasil jeripayah ketika berkerja sebagai TKI di Malaysia, tak ramah baginya. Rumah yang dikategorikan mewah dari bangunan lain di kampung bernama Kampung Pelang itu, bagai gubuk penuh derita bagi Pak Sanib.    

Hanya ia dan istrinya yang bernama Siti tinggal dirumah itu. Sedangkan anak laki-laki satu-satunya dari hasil perkawinan mereka, telah berkeluarga, dan hidup di rantau orang. Namun rumah besar yang meskipun berisikan dua orang itu, cukup memekakkan telinga, dan tetangga sekitarpun tau cerita itu.

            Ada saja permasalahan yang terjadi di rumah itu. Selalu saja terjadi keributan. hampir setiap hari ada perdebatan. Dan tak jarang kata-kata kasar terlontar keluar dari penghuni rumah itu. Namun, apapun penyebab permasalahan, Pak Saniblah yang dikambing hitamkan. Melihat Pak Sanib yang sering duduk termenung di pintu Rumah di kala senja, sudah hal biasa bagi masyarakat di Kampung Pelang.

            Hingga pada suatu sore, Pak Sanib tak terlihat lagi duduk di tepi pintu Rumahnya. Tetangganyapun menanyakan keberadaan Pak Sanib yang tak terlihat sore itu kepada istri Pak Sanib, karena sore itu ada pengajian di Surau Gadang, dan Pak Sanib tak nampak datang. Pak Sanib yang biasanya selalu aktif dalam pengajian, tak hadir hari itu.    

             "bapak pergi menjenguk ladang sedari pagi. Durian kami sedang berputik lebat, banyak kera-kera yang meruntih buahnya, jadi dia menunggunya sampai sore disana. Mungkin, sebentar lagi pulang." Begitu ungkap istri Pak Sanib kepada tetangga.  

            Keesokan paginya, salah satu tetangga Pak Sanib kembali mendatangi rumah Pak Sanib. Namun, pagi itu Pak Sanib juga tak terlihat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline