Dari Bumi Hadlramaut menuju Tanah Abang-Batavia
[POS KMNU-IIUM#2]
Sangat disayagkan bila kita telah menikmati sebuah karya, namun tak mengetahui siapa yang menulisnya. Terasa ada yang kurang, dan bisa jadi berkah ilmu kita bakal minus. Sebaliknya, mengenali sang penulis akan menjalin hubungan batin, sehingga cahaya ilmu yang tertransfer mampu menerangi relung hati pembaca. Dalam konteks sekarang, kita telah menyaksikan betapa manfaatnya kitab Safinah. Tidakkah terbenak dalam hati kita; siapa, sih, sang penulis kitab tersebut?
Rahasia di balik kedahsyatan Safinah tentu, antara lain, terletak pada sosok penulisnya. Beliau adalah Syekh Salim bin ‘Abdillah bin Sumair. Seorang maha guru yang tak hanya bergulat dalam dunia pendidikan, tapi juga seorang qadli’ nan ahli politik, penasehat Sultan, sekaligus memiliki keahlian dalam bidang militer.
Sang Mu’allim
Syekh Salim dilahirkan di desa Dzi Ashbuh, sebuah wilayah yang berada dalam lembah Hadlramaut dan di bawah kekuasaan Kerajaan Al-Katsiry (781-1387 H/1379-1967 M). Bin Sumair, yang sekarang di Indonesia -seperti di Solo- lebih dikenal dengan Bin Semir, merupakan keluarga yang melahirkan banyak tokoh ulama besar, panutan masyarakat sekitar Hadlramaut, tak terkecuali ayah Syekh Salim. Dengan bimbingan sang ayah, Syekh Salim telah menguasai Al-Qur`an Al-Karim di usianya yang masih belia. Beliaupun dipercaya sebagai pengajar Al-Qur`an, hingga diberi title “Mu’allim”, sebuah gelar kehormatan di wilayah Hadlramaut untuk seorang yang tekun mengajarkan Al-Quran. Dalam pengamatan Sayyid Umar bin Hamid Al-Jaylani hafidzahuLlah, gelar “Mu’allim” ini terinspirasi dari sebuah hadits riwayat Sahabat ‘Utsman bin ‘Affan ra;
“Sebaik-baiknya kalian adalah sesiapa yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari, no. 5027)
Meski telah menjadi “guru ngaji”, api semangat belajar Syekh Salim tidak pernah padam. Kepada sang ayah dan beberapa ulama besar Hadlramaut abad 13 H, beliau menimba pelbagai ilmu Syariat. Berkat kesungguhan, kecerdasan, dan tekun, Syekh Salim mendapat kepercayaan untuk ikut mengajarkan berbagai ilmu bersama para gurunya. Dalam waktu yang tak lama, namanya terkenal bagai mentari hingga mendapat pujian yang membanggakan dari kalangan guru-guru beliau sendiri, seperti Syekh Al-‘Allamah Abdullah bin Ahmad Basaudan (1178-1266 H).
Kemelut Katsiri-Yafi: Ahli Militer, Juru Damai dan Penasihat Sultan
Tidak berhenti pada prestasi intelektual saja, Syekh Salim juga dikenal sebagai sosok politikus yang diperhitungkan. Karena keahliannya di bidang militer, beliau diutus Kerajaan Katsiry ke India untuk mencari senjata perang tercanggih saat itu. Ini menunjukkan bahwa pada zaman beliau kondisi politik kerajaan sedang tidak stabil, dan diliputi kemelut peperangan serta perebutan kuasa.
Atas mandat sultan Katsiry tersebut, Syekh Salim akhirnya bisa mengenal “dunia luar” dan memulai pengembaraan pertamanya. Setelah mengarungi lautan samudera dan melacak berbagai peralatan perang di berbagai wilayah India dan sekitarnya, beliau menemukan peralatan militer tercanggih justru di Singapura. Beliau langsung membeli dan mengirimkannya ke Hadlramaut.