Hari yang dinanti publik sepakbola Sleman akhirnya tiba. Hari Minggu, 14 April 2013, pertandingan antara PSS Sleman melawan Persibangga Purbalingga yang didaulat sebagai laga pembukaan kompetisi Divisi Utama PT. LPIS akhirnya dihelat di Stadion Maguwoharjo.
[caption id="attachment_238163" align="aligncenter" width="642" caption="Sleman Rumah Kami!"][/caption] Langit Sleman yang semenjak sore hari digelayuti awan gelap dan diselingi dengan beberapa kali rintik hujan dengan intensitas sedang, tampak tidak menyurutkan antusiasme warga Sleman untuk mendukung representasi daerahnya di kancah sepakbola nasional, PSS Sleman. Kick off pertandingan baru akan dilaksanakan pada pukul 19.00 WIB, namun demikian sejak pukul 17.00 WIB ruas-ruas jalan utama di Sleman mulai tampak diramaikan dengan arus keberangkatan para loyalis Elang Jawa menuju stadion. Meskipun tampak tersamar, namun atribut dengan warna hijau-hitam-putih tampak mengintip dari balik jaket yang dikenakan para pengendara yang berlalu-lalang.
Menginjak pukul 17.30 WIB, tingkat kepadatan pelataran parkir Stadion Maguwoharjo tampak sudah cukup tinggi. Sementara itu, di sisi timur laut, beberapa bus, mobil, motor dengan plat nomor berkode R yang menandakan kehadiran suporter dari Persibangga Purbalingga juga telah berjajar rapi dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Bagi saya pribadi, kondisi ini di luar perkiraan. Pertandingan baru akan dimulai dalam tempo 90 menit lagi, namun jumlah penonton yang hadir sudah sedemikian banyak. Terlebih dengan harga tiket pertandingan PSS Sleman yang relatif mahal, yaitu Rp. 20.000 untuk Tribun Utara-Selatan, Rp. 30.000 untuk Tribun Timur, Rp. 50.000 untuk Tribun Barat membuat antusiasme penonton ini tampak menyalahi logika ekonomi. Sebagai perbandingan, tiket pertandingan termurah dari Persiba Bantul yang bertanding di Indonesia Premier League dan PSIM Yogyakarta yang berkompetisi di Divisi Utama PT.LI hanya dipatok seharga Rp.15.000 saja. Itupun dengan tingkat kepadatan stadion yang sedang. Entah karena faktor apa, yang jelas PSS Sleman pantas bersyukur, karena meskipun tim yang berusia paling muda di antara ketiga klub tadi namun mereka telah mampu menjadi magnet bagi publik Sleman dan sekitarnya.
[caption id="attachment_238164" align="aligncenter" width="599" caption="Bukti Kesungguhan dari Kaum Pekerja"]
[/caption] Di dalam stadion, atmosfer telah terasa begitu meriah. Puluhan atau bahkan ratusan banner telah terpasang mengelilingi pagar tribun. Di atas Tribun VVIP, tampak jelas sebuah banner dengan tulisan yang cukup mengusik rasa kebanggan para pecinta Elang Jawa yang berbunyi, “KAMI RESIGN DEMI PSS”. Totalitas dan loyalitas tampak sedemikian kentara melalui tulisan tersebut. Memang, perlu diketahui bahwa setiap PSS Sleman bertanding, ada banyak pendukungnya yang berada di perantauan rela meninggalkan studi hingga pekerjaannya demi bisa hadir di stadion. Tentu bisa dibayangkan, berapa banyak rupiah yang harus dikeluarkan untuk sekedar pulang ke Sleman. Bahkan menurut penuturan beberapa orang, tak jarang ada yang harus rela berhenti dan dipecat karena terlalu sering cuti demi PSS Sleman. Tetapi jangan remehkan pula totalitas dan loyalitas dari penonton yang ada di Sleman. Pada musim lalu, di setiap pertandingan tandangnya, PSS Sleman tidak pernah satu kalipun berlaga tanpa dukungan suporternya. Meskipun dalam jumlah yang fluktuatif, selalu saja ada suporter yang berangkat dari Sleman untuk mengawal perjuangan Elang Jawa, termasuk saat harus bermain di Palangkaraya, Kalimantan. Sungguh, cinta itu terkadang irasional...
[caption id="attachment_238177" align="alignleft" width="1070" caption="Di Sleman, Kalian Melawan Ribuan Orang!"]
[/caption] Setelah tersadar dari keterpukauan, saya pun mencari dan akhirnya mendapatkan tempat untuk memasang banner tepat di sebelah para pendukung Persibangga Purbalingga yang hari itu ditempatkan di Tribun Timur sektor utara. Banner telah terpasang dan saya bermaksud segera mencari posisi tempat duduk yang nyaman di Tribun Timur. Namun niat itu saya urungkan saat melihat puluhan rekan-rekan dari Tribun Selatan yang eksodus ke Tribun Timur untuk membuat red flares (cerawat) line. Ya, seperti telah saya dengar sebelumnya, hari itu para suprter PSS Sleman, baik Brigata Curva Sud 1976 maupun Slemania, memang berencana membuat massive pyro show. Menurut kabar, ada sekitar 350 cerawat yang telah dibeli dengan dana pribadi masing-masing dan akan dinyalakan bersamaan pada saat pemain memasuki lapangan. Sebagai info, harga satu cerawat dengan durasi nyala 60 detik berkisar di harga Rp. 75.000 . Dengan demikian ada Rp. 26.250.000 yang akan ‘dibakar’ pada malam itu. Dengan inisiatif sendiri, saya yang memang telah menyiapkan cerawat dari rumah pun ikut bergabung di dalam barisan suporter yang telah berjajar di sepanjang pagar pembatas tribun dengan lapangan. Secara pribadi, selama dua dua setengah musim terakhir, saya terbiasa menonton sebagai penonton di Tribun Timur, namun khusus untuk hari itu, saya mencoba ikut ambil bagian kecil dalam aksi tersebut. Sebuah aksi yang semoga dapat membuat publik sepakbola Indonesia tersadar bahwa terdapat sebuah klub di kota kecil dengan pendukungnya yang tidak lagi mau peduli dengan konflik yang terus terjadi di PSSI. Satu momentum yang semoga saja membuat para petinggi federasi kembali tersadar bahwa sepakbola itu seharusnya dikembalikan ke lapangan hijau dengan tribun sebagai pembatasnya dan bukan justru dibawa keluar masuk ke dalam kantor partai politik hingga gedung parlemen. Sepakbola adalah milik mereka yang mencintainya, bukan yang menungganginya. Esensi sepakbola adalah kompetisi di atas lapangan dan tribun dengan spirit sportivitas, bukan justru ajang saling tikam dan menciderai bagi para politisi. Tolong, kembalikan bola itu ke lapangan hijau...
Sementara suasana di tribun yang semakin padat dan berdesak-desakan hingga tidak sedikit di antaranya yang tidak mendaoat tempat duduk, para flare man telah bersiap untuk menarik sumbu cerawat yang mereka bawa. Sembari menunggu diputarnya FIFA Anthem yang akan menjadi penanda untuk menyalakan cerawat, terdapat satu pemandangan menarik di Tribun Timur sektor selatan dimana terdapat beberapa terdapat beberapa wanita yang ikut menggenggam cerawat di tangan mereka. Menarik, karena ini menjadi pemandangan yang tidak lazim di ranah suporter sepakbola yang selama ini dikonstruksikan sebagai wilayah kaum pria. Menarik, karena mereka pun tetap tampak begitu cantik dalam balutan busana casual mereka.
Pertandingan diawali dengan seremonial tendangan bola pertama yang dilakukan oleh Bupati Sleman. Sejenak setelahnya, barisan pemain kedua tim mulai memasuki lapangan. Serentak bunyi sumbu cerawat yang terlepas pun saling bersahutan. Di setiap sisi stadion, nyala merah terang dari cerawat tersebar dimana-mana. Stadion Maguwoharjo terbakar pada malam itu. Stadion Maguwoharjo seolah menjadi ‘neraka’ yang berpindah ke bumi bagi para lawan Elang Jawa. Asap tebal mengepul di seantero stadion seiring nyala cerawat yang mulai redup sehingga membuat jarak pandang hanya mencapai 10 meter. Belum selesai rasa kaget, takut dan takjub yang menyeruak di antara para penonton umum, lantunan lagu Indonesia Raya yang diikuti lagu Bagimu Sleman (disitir dari lagu Bagimu Negeri) pun semakin membuat atmosfer di stadion terasa begitu menggetarkan emosi. Semangat yang menggebu meskipun dengan suara serak dan terbata akibat asap cerawat, tidak membuat mereka yang hadir ragu untuk ikut melantunkan lagu tersebut semampu mereka. Suasana yang setiap diingat akan selalu membuat kagum dan kaki ini bergetar...
[caption id="attachment_238176" align="alignleft" width="1070" caption="He is Our Captain and His Name is Abda Ali!"]
[/caption] Perlahan asap menghilang dari pandangan mata hingga pada pukul 19.15 WIB, peluit kick off dibunyikan. Pemandangan indah sekaligus teror mental berupa paper-roll rain dari Tribun Utara dan Selatan pun menghujani lapangan pertandingan. Jarak antara tribun dengan lapangan yang relatif dekat membuat lapangan bermandikan kertas yang menjulur panjang. Sebuah aksi yang sederhana, namun mampu membuat para pemain lawan merasa tidak nyaman dan terintimidasi. Pertandingan pun kembali berlanjut setelah lapangan kembali dibersihkan dengan memanfaatkan jeda saat bola meninggalkan lapangan. Di sepanjang babak pertama, penguasaan bola lebih banyak dipegang oleh anak-anak Sleman. Sementara Persibangga Purbalingga cenderung lebih banyak menunggu bola di daerahnya sendiri. Tim lawan seolah ingin bermain aman menumpuk pemainnya dan hanya mengincar hasil imbang di Sleman. Gaya sepakbola negatif yang diperagakan membuat tim Elang Jawa kesulitan melakukan tusukan-tusukan ke jantung pertahanan lawan. Beberapa kali kemelut di depan gawang Persibangga Purbalingga masih belum mampu mengoyak jala lawan. Terlebih hari itu PSS Sleman hanya menurunkan Monieaga sebagai striker tunggal tanpa didampingi Noh Alamshah yang masih terganjal urusan International Transfer Certificate (ITC). Saat babak pertama tampak akan berakhir tanpa gol, sebuah serangan dari sisi kanan lawan yang diakhiri dengan tembakan jarak jauh dari Anang Hadi mampu merobek gawang Persibangga Purbalingga dan membuat kedudukan menjadi 1-0 tepat jelang turun minum.
[caption id="attachment_238165" align="aligncenter" width="642" caption="Aksi dari Tribun Utara"]
[/caption] Babak kedua dimulai. Sementara kedua tim kembali berlaga di lapangan. Suguhan menarik dari tribun suporter kembali mengundang decak kagum. Brigata Curva Sud 1976 di Tribun Selatan dan Slemania di Tribun Utara sama-sama beradu kreasi dengan koreografi. DI sisi utara, tampak sebuah koreografi berbentuk segitiga dengan warna hijau dan kuning yang secara samar terlihat seperti trofi juara. Sementara di selatan, koreografi dengan sketsa yang sama rumitnya menampakkan sebentuk tulisan 2013 dengan angka 1 di dalam bulatan yang terletak di tengah. Dari kedua koreografi tersebut tampak jelas pesan yang ingin disampaikan, bahwa seluruh elemen suporter dan penonton di Sleman ingn PSS Sleman menjadi juara di tahun ini. Dengan dukungan manajemen yang solid, skuad yang mumpuni, dan suporter serta penonton yang melimpah membuat semuanya menaruh harapan besar pada tim ini. Sebuah harapan yang rasanya tidak terlalu muluk...
Di lapangan, pertandingan kembali berjalan dalam tempo sedang. Pada menit 46, PSS Sleman mendapat tendangan bebas dari sisi kanan pertahanan lawan. Tendangan yang dilakukan oleh Wahyu Gunawan mampu diteruskan oleh Anggo Julian ke dalam gawang Persibangga Purbalingga tanpa mampu diantisipasi oleh kiper lawan. Tertinggal dua gol memaksa lawan bermain lebih terbuka dan berani keluar menyerang. Kondisi ini justru membuat PSS Sleman mampu lebih mengembangkan permainan karena tidak lagi berhadapan dengan pertahanan berlapis. Disisi lain, serangan lawan juga semakin membahayakan. Namun demikian, hingga laga berakhir, kedudukan tetap 2-0 untuk pasukan Elang Jawa.
Seperti yang sudah-sudah, begitu pertandingan berakhir, puluhan cerawat kembali dinyalakan. Kali ini tidak saja oleh suporter PSS Sleman, namun juga suporter Persibangga Purbalingga. Terdapat hal yang menarik ketika mengamati perubahan sikap penonton di Sleman. Dua musim yang lalu, mayoritas penonton di Tribun Timur dan Barat biasanya akan segera pergi meninggalkan tempat duduknya begitu pertandingan berakhir. Namun kini, penonton di tribun tersebut bahkan mau bertahan lebih lama setelah pertandingan berakhir. Mereka masih menunggu dan menikmati momen-momen saat cerawat dan bom asap dinyalakan, saat lagu Bagimu Sleman kembali dilantunkan, dan saat para pemain PSS Sleman berjalan mengelilingi lapangan sebagai wujud terima kasihnya atas dukungan yang diberikan. Ya, Stadion Maguwoharjo kini menjadi rumah yang ramah bukan saja bagi mereka penggemar sepakbola Sleman, namun juga anak-anak, kaum wanita, hingga keluarga. Namun satu yang pasti, Stadion Maguwoharjo akan selalu menjadi ‘neraka’ bagi lawan-lawan yang menyambangi markas Elang Jawa ini.....
Kotabaru, 15 April 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H