Hujan sore itu, jatuh begitu derasnya membasahi halaman rumahnya yang istimewa. Tepat bulan Desember, menjelang tahun berganti dengan tahun yang baru. Ia yang memeluk penuh senang.
Hati begitu riang. Hingga melupa segala sedih yang pernah menampar masa kecilnya yang penuh perih.Sebut saja gadis berumuran belasan tahun itu, Jejik. Ia begitu akrab disapa dengan nada penuh tawa. Bahkan ia akan kegirangan sembari lompat ke sana kemari ketika disuguhkan cerita tentang saling menyukai.
Masih saja hujan belum berhenti. Tiba-tiba ia disuguhkan dengan kedatangan seorang pemuda penuh ceria. Ranumnya bahkan berdampak pada rindu yang dipejam tak bersuara. Ia sangat ungguh. Memainkan bahasa tubuh yang kerap membuat lawannya sampai jatuh dalam hayalan.
Jejik tampak begitu senang. Ketika beradu tatap menanti sore redup dalam sekejap gelap. Pemuda tampan itu mengajaknya bercerita. Disuguhnya dongeng berlegenda, tentang romantika masa kerajaan.
Pelan-pelan pemuda itu menyisipkan aksara penuh makna. Diciptanya metafora yang tak bisa dibendung lagi. Ia memuncak. Memuncak dengan nada klimaks. Pemuda tampan itu, begitu fasih meniru kata-kata seorang raja di sebuah kerajaan.
Cerita masa lampau itu, tidak bisa dilupakan oleh hampir semua kalangan anak muda. Lebih kepada kisah romantika seorang putri dan pangeran yang gagah perkasa.
Gadis itu jatuh. Jatuh dalam kata-kata yang tidak bisa dibendungnya dalam benak. Seolah menyesap masuk ke dalam pikirannya yang sedang kacau. Ia tidak tertolong lagi.
Pemuda itu pun merenung dalam-dalam. Mungkinkah ada yang tidak bisa dinarasikan dengan kata. Atau cerita yang tidak harus disuguhkan dengan masa lampau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H