Lihat ke Halaman Asli

Menteri Pertanian Tingkatkanlah Produksi Lokal hingga Melebihi Kebutuhan, itulah Swasembada

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), 28/6/2011 menyatakan:

·Berdasar data sementara sensus sapi, Indonesia sebenarnya sudah siap untuk melakukan swasembada sapi di 2014.

·Permasalahan yang harus dihadapi adalah Indonesia terlalu mudah dalam melakukan impor daging sapi.

Kepala BPS kemudian menjadi Wakil Menteri Pertanian.

Pada Maret 2013 Kepala BPS yang baru, juga menyebut tak perlu impor daging sapi, meskipun harga daging sapi menggila

Harga Pangan seperti Daging Sapi menggila

Demi kesederhanaan hanya Daging Sapi yang kita bicarakan disini:

·Menteri Pertanian ( Mentan) Januari 2011 mendadak mengurangi kuota impor daging sapi Indonesia, dengan alasan untuk mendorong swasembada daging sapi lokal.

·Mentan memotong kuota impor yang biasanya 120 ribu ton per tahun menjadi hanya 50 ribu ton pada 2011. Pada semester pertama 2011, impor bahkan dibatasi hanya 25 ribu ton.

PenguranganKuota Impor untuk mendorong Swasembada adalah pemikiran “ Nasionalisme Palsu”

Swasembada hanya dapat dicapai dengan menaikkan produksi lokal hingga melebih kebutuhan

Kuota Impor menciptakanPraktek Kartel

Kamus Besar Bahasa Indonesia  mendefinisikan Kartel :


  • persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditas tertentu.
  • Mungkin dapat ditambahkan: bertujuan menetapkan harga untuk membatasi suplai dan kompetisi.

Kuota Impor selalu menciptakan Praktek Kartel

Serius tingkatkan Produksi Lokal

Berikut adalah syarat swasembada, sayangnya jarang kita dengar:

·Apakah semua atau hampir semua sapi adalah Sapi Unggul? Kita tidak mendengar itu.

·Apakah hampir semua sapi sudah diinseminasi?

·Apakah Kementan berhasil mempertahankan jumlah peternak agar tidak terus berkurang?

·Apakah pemuda yang tetap tinggal dikampung mereka dan memertahankan profesi sebagi peternak diberi insentif?

·Apakah fasilitas karantina ditingkatkan sehingga kemungkinan terkena infeksi dari luar negeri berkurang?

·Apakah kita berhasil mencegah berkurangnya lahan ternak?

Apa yang tidak ingin kita dengar:

·Ada 65 Profesor Riset bekerja di Kementan.

·Hiruk pikuk pejabat Kementan dan Kemendag memperebutkan Kuota Impor.

·Salah menyalahkan antara Mentan dengan Mendag mengenai harga daging sapi yang menggila.

·Penyuluh semakin jarang mendatangi Peternak.

Apakah manfaat Impor dibuka?

Seumpama harga daging sapi sebesar Rp70.000 menguntungkan peternak, sedangkan sapi impor tanpa bea adalah rp50.000.

Mentan dan Bea Cukai tetapkan Impor sapi dikenakan bea 50% hingga harga jual daging sapi impor menjadi rp75.000/kg.

·Skenario 1: Tidak ada impor daging sapi. Ini mengindikasikan produksi melebihi kebutuhan.

·Skenario 2:Impor daging sapi sebanyak 100 ton. Angka 100 ton menunjukkan kekurangan produksi sapi.

Angka impor adalah indikasi terbaik tentang status kemampuan lokal memenuhi kebutuhan

Data BPS tidak terlalu akurat, karena BPSmenghadapi medan yang berat dan kurang dapat dipercaya seperti banyaknya peternak dengan jumlah sapi 1 sampai 3 ekor, terpencar dipedalaman.

Sensus dijawab Peternak denganjawaban yang menguntungkan mereka

Apa keuntungan lain dari membuka Impor?

Impor seperti memiliki Akun di bank:

·Jika kita punya dana menganggur maka kita simpan di bank. Ini identik dengan jika daging sapi lokal berlebihan maka kita ekspor.

·Sebaliknya jika kita butuh dana maka kita pinjam dari bank. Ini identik dengan jika kita kekurangandaging sapi maka kita impor.

·Impor Daging Sapi membatasi harga maksimum Daging Sapi di Rp75.000/kg, bukannya Rp120.000/kg.

·Harga Daging Sapi di rp120.000/kg memacu Peternak menjual sapinya termasuk betina dan yang bunting

Bacaan:

BPS:stop impor daging sapi

BPS: stop impor daging sapi 2014

Asal mula suap daging sapi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline