Lihat ke Halaman Asli

Ahok dan Anomali Budaya

Diperbarui: 15 Agustus 2016   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendulum politik yang semakin hari memperlihatkan arah poros koalisi, membuat sebagian para politisi yang tidak se-idedengan kesepakatan koalisi gusar. Ahok dalam hal ini sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta yang akan dinobatkan sebagai Gubernur pun tidak terlepas pada polemik tersebut. Dan kegagalan partai politidalam mengkader para pemimpin bangsa pun,menarik untuk dicermati. Narasi meritokrasi dalam kepemimpinan bangsa kita hanya oplosan kosong yang tiada arti. 

Kenyataan yang muncul membuat sebagian dari anak bangsa yang ingin men-darma baktikan dirinya untuk negeri, berlaku instan dengan mengandalkan kekuatan kapital baik secara finansial atau pengaruh (red: orang tua, dll) untuk mendapat suatu posisi yang sekiranya mampu membuatmereka muncul menjadi pemegang kebijakan. Padahal disadari atau tidak, suka atau tidak suka, kepemimpinan bangsa ini dilahirkan oleh rahim partai politik.Keberadaan partai politik saat ini tak ubahnya hanya menjadi kendaraan bagi siapayang akan memakai.

Ahok yang kita kenal,cukupmenjadi gambaran bahwakeberadaan parpol telah gagal dalam mejalankan cita-cita demokrasi. Selain melakukan pendidikan politik pada rakyat, parpol lahir untuk mencetak kader-kader pemimpin dengan ciri khas yang dimunculkan pada parpol tersebut. Sosok mantan Bupati Belitung ini adalah sosok yang tumbuh dan berkembang dengan sendiri, dia tidak pernah terkungkung pada patron politik tertentu. Dia yang akhirnya harus keluar dari Partai Gerindra dengan perbedaan sikap terkait RUU Pilkada, itu tidak menjadi suatu hal yang mengagetkan.

Kenyataan sesungguhnya, elit yang tidak suka dengan sepak terjang Ahok mengatakan dia tak ubahnya seperti kutu loncat. Namun, pada sisi tertentu Ahok mampu menarik hati rakyat. Kenyataan yang berbanding terbalik ini menjadi sebuah realiatas umum, yang tanpa kita sadari bahwa mereka masyarakat yang tumbuh dalam lingkaran politik praktis akan sangat mudah diombang-ambingkan oleh pencitraan yang mematikan. Semakin dia tersudut dan terdzolimi, maka semakin besar simpati rakyat yang akan dia panen. Kehidupan berbangsa dan bernegara kita pada saat ini begitu mudah terombang-ambing oleh efek badai politik lima tahunan. 

Padahal ada cita-cita bangsa yang begitu jauh untuk diemban bersama. Ada mimpi-mimpi peradapan yang begitu jauhterbentang dan menjadi harapan para pendahulu bangsa ini. Namun, ketika orientasinya adalah rasa suka dan tidak suka terhadap suatu kelompok tertentu, serta keinginan untuk menguasai. Maka kita lihat sejauh mana bangsa ini mampu bertahan dengan badai politik yang terus berhembus. Budaya timur masih mendarah daging dalam jiwa rakyat Indonesia, budaya timur yang dekat pada karakter arif, sopan dan santun. Dalam bertutur kata, bersikap, dan berkehendak, kita mengakui bahwa mereka yang berkata sopan tentu baik, dan berperangai kasar maka buruk. Kita akhirnya lupa, bahwa karakter bangsa Indonesia yang secara adat istiadat dan budaya terbentang dari Sabang sampaMerauke memiliki ciri khas yang berbeda-beda. 

Ahok adalah karakter yang muncul tanpa topeng, dia muncul apa adanya, berperangai keras, tidak mau di atur dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Maka wajar jika sosok aneh tersebut tidak mendapat ruang dihati para elit-elit yang memegang teguh budaya kearifan, dan ini adalah wajah politik yang menarik pada bangsa ini.Sosok anomali ini mau tidak mau akan kita lihat sebagai sosok yang seolah-olah pragmatis, dia akan mudah terbang dan berganti KTA dari parpol satu ke parpol yang lain. Dan kurang lebih demikian gambaran kehidupan berbangsa dan bernegara kita, rakyat begitu mudah memutuskan pilihan ke A atau B tanpa berfikir ideologis dan konsepsional kenapa harus memilih itu. 

Penulis disini tidak ingin mengatakan sosok Ahok yang bersalah, kenapa dia harus tumbuh tanpa ada kaderisasi dari partai politik tertentu. Juga penulis tidak ingin menyalahkan partai politik yang tidak mampu menelurkan kader-kader yang kuat dan memiliki karakter dan berorientasi pada rakyat.

Fenomena ini adalah fenomena yang sudah biasaterjadi pada bangsa kita. Padahal pemimpin yang kuat itu lahir dari rakyat yang kuat. Pemimpin yang lahir darikaderisasi rakyat, pemimpin yang tumbuh dan berkembang bersama rakyat. Artinya bahwa kita membutuhkan partai politik yang benar-benar turun danmengabdi untuk rakyat. Sebagai organ penting dalam salah satu fitur demokrasi, partai politik hendaknya tidak hanya menyambangi rakyat ketika dia akanmembutuhkan suara rakyat. Tetapi juga terjun lagsung dalam keseharian rakyat dan bersama-sama rakyat membangun bangsa ini untuk lebih baik. 

Sementara untuk mendapatkan rakyat yang baik lagi kuat, yang dibutuhkan adalah keteladanan. Sikap politisi atau pejabat publik yang korup saat ini cukup menjadi potret buram dan contoh yang tidak perlu ditiru. Bahwa Ahokitu sosok yang keras dan ceplas-ceplos silahkan dilihat subtansinya apa dibalik semua itu. 

Rakyat saat ini telah cerdas memilih dan menilai mana yang baik dan tidak. Karena kita tidak membutuhkan kesantunan seseorang dalam sikapnya,tapidia culas dan licik dibelakang. Namun penulis masih meyakini bahwa sikap alamiah dasar manusia Indonesia tetap mengharapkan sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat, lagisantun dan tidak berlaku culas terhadap amanah yang diembanya

Tulisan ini ditulis saat peralihan Gubernur DKI Jakarta dari Pak Jkw ke Ahok.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline