Lihat ke Halaman Asli

Standar Ganda: Miskin atau Kaya?

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika bercerita dengan teman tentang harta, biasanya kita akan serta merta dengan bangga menjelaskan sejelas-jelasnya berapa perbulan gaji kita, laba bisnis luar biasa, untung besar hari raya, berapa aset perusahaan kita, motor, mobil, rumah, disebutkan semua dengan sejumlah angka, bla bla bla.

Namun ketika sang teman menyela, “Ngomong-ngomong, saya lagi butuh bantuan nih, kalau ada...” tiba-tiba rona wajah kita berubah bermuram durja, serta merta seribu satu alasan keluar dengan sendirinya.

Lagi tanggal tualah, cicilan motor belum lunaslah, habis dipakai buat berobatlah, gaji karyawan belum terbayarlah, omset bulan ini lagi menurunlah, dan lain-lainlah, bla bla bla.

Singkat kata, ”Wadeeeewh...sorry banget neeh plend, ane gak bisa bantu ente nih. Salah ente sih gak ngomong dari kemaren-kemaren...”

Nah lho, sudah tak bisa bantu, menyalahkan lagi. Dalam hitungan detik, orang kaya bisa tiba-tiba berubah miskin papa. Kok bisa? Itulah standar ganda.

Pada satu hal kita merasa bangga sebagai orang kaya dan mencak-mencak jika dianggap miskin. Dan di saat yang sama pada lain hal kita merasa sedih sebagai orang miskin dan mencak-mencak jika dianggap kaya.

Miskin atau kaya, tak ada standarnya. Standar ganda, akan terlihat nyata ketika seorang teman butuh bantuan kita, akankah kita serta merta ulurkan tangan tanpa banyak tanya, atau ulurkan seribu satu alasan untuk tidak membantunya. ***

RJ-17/08




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline