Lihat ke Halaman Asli

Robby Syahputra

syahdu fajar dan sendu senja

Sebuah Epilog Negeri Nusa

Diperbarui: 23 Desember 2020   19:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

elnuha.net

Kecapi tua itu mulai berdebu. Senarnya yang tersangkut di balok kecil di kedua sudutnya agak mengendur. Warna coklat agak keemasannya mulai memudar. Sebuah peninggalan sejarahkah? Yang pasti ada banyak cerita di sana. tersimpan di dalam rongganya. Kenangan-kenangan indah, mengharukan, pahit ataupun getir sekalipun.

Nada-nada indah dimainkannya di suatu masa. Saat dimana kabut menutupi jarak pandang dan pendengaran. Masa itu semua berjalan apa adanya. Nada-nada indah adalah sebuah keharusan untuk didendangkan. Tiada nada sumbang atau lantunan menyayat hati yang bisa dimainkan.

Perhatikanlah! Sang dalang tidak lagi menjadi dalang di balik layar. Tanpa disadarinya, dia telah menjadi wayang yang digerakkan oleh orang-orang di belakangnya; di atas panggung hiburan sebuah Negeri Nusa. Ayo tontonlah!

Mulut-mulut yang menyanyikan lagu lain di tengah pertunjukan, dibungkam dan menghilang. Di tengah pertunjukan yang gegap gempita - ketika seluruh mata tersorot ke atas panggung -- lagu-lagu indah dilantunkan. Bait-bait merdu dinyanyikan. Tanpa penonton utama sadari, segerombol wayang di pinggiran panggung -- yang luput dari pengamatan -- memainkan lakon mereka sendiri. Lakon tragis penuh kekerasan.

Sambil menceritakan kepahlawanan Ramayana dan Shinta, atau sesekali lakon Gatot Kaca dan Hanoman; sang dalang berusaha memikat penonton dengan goyangan wayang di atas panggung. Wayang bergerak meloncat ke belakang, menyerang ke depan. Sesekali mengeluarkan jurus ampuhnya diiringi gemuruh suara latar. Satu demi satu lakon kepahlawanan disuguhkan, tanpa sadar penonton telah mengeluarkan lembar demi lembar dari sakunya, melebihi nilai yang seharusnya mereka bayarkan untuk pertunjukan itu.

Sesekali lakon kemakmuran dimainkan. Tanpa setetes airpun dibagikan. Kering meratap. Mata terpaku menatap. Hanya bisa menekan lidah dalam-dalam ke bagian bawah. Menelan ludah.

Bertahun bahkan berpuluh tahun lakon itu menghibur kita. Kecapi terus dipetik. Sesekali dikilapkan, senarnya dikencangkan. Busur tertarik ke belakang. Dalam sekejap anak panah itu melesat. Nyanyian dimulai kembali. Sinden bernyanyi iringi lakon sang dalang. Terkadang suaranya meninggi, sesekali direndahkan. Riuh gemuruh penonton membahana. Sang dalang dipilih lagi untuk membawa lakon kepahlawanan di Negeri Nusa. Terpilih ataukah tidak ada pilihan?

Sekelompok anak muda duduk di kursi penonton. Wajahnya seperti orang terpelajar. Manggut-manggut memperhatikan lakon di atas panggung. Cukup lamakah? Sepertinya saja, tapi hanya separuh, itu juga kurang. Waktu seakan terlalu cepat untuk darah muda mereka menggelegak, di tengah lakon yang terasa sangat lama dan mulai memuakkan.

Cemooh dilontarkan. Deruman kepahitan yang entah kapan mulai mereka rasakan. Ketidakadilan yang terpicu dari cerita, bahkan kekecewaan sebagai alih-alih para pemuda untuk bisa menghentikan lakon sang dalang.

Dari mana semangat pemuda-pemuda itu? Setelah berpuluh tahun menggerakkan wayangnya, sang dalang mulai letih. Kekuatannya tidak lagi seperti dulu, saat awal masa jayanya. Sejenak ia teringat, bagaimana ia membuat sekumpulan wayang pengacau untuk melesatkan panah, dan menguburkan impian para calon dalang di Negeri Nusa. Hingga akhirnya dia terpilih menjadi dalang. Untuk mengapus jejak lengkahnya, dia musnahkan seluruh wayang pengacau hingga akarnya. Yang tersisapun dibuatnya tidak diterima dimanapun mereka berada.

Mereka datang lagi, seakan tiada habisnya. Memaki, memberontak dan memaksa lakon itu dihentikan. Cukup sudah cerita dituturkan. Cukup sudah penonton dibungkam, dan dipaksa bergemuruh dalam pesta-pesta kemenangan sang dalang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline