Lihat ke Halaman Asli

Pelajaran Sebuah Perjalanan

Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebaran usai. Sudah saatnya mengembara kembali. Mencari ilmu. Demi kehidupan lebih baik.

 

Cerita ini mungkin sepele. Hanya perjalanan kecil yang dilakukan kebanyakan orang. Tapi kalau direnung kembali, begitu banyak hikmah di dalamnya: bagaimana Tuhan mendidik saya yakin kalau tidak ada yang mustahil bagi-Nya.

Saya urung memesan tiket bus SAN tujuan Lubuklinggau – Yogyakarta karena terlalu mahal. Normalnya 475ribu, karena masih suasana lebaran, harga menjadi 600ribu. Hampir mendekati tiket pesawat, karena 600ribu itu belum dihitung biaya makan selama perjalanan dua hari dua malam. Dan, kalau suasana lebaran, biasanya rumah makan gila-gilaan mematok harga. Nasi Ayam bisa 27ribu; Nasi Ikan bisa 28ribu; Teh dingin maupun hangat bisa 7ribu; Aqua botol 600ml bisa 8ribu. Dihitung-hitung, selama dua hari dua malam itu saya dapat menghabiskan minimal 150ribu. Jadi, total 750ribu. Sedang tiket pesawat termurah (masih dalam suasana lebaran tanggal 28 Juli) adalah 865ribu. Beda tipis.

Tanpa pikir panjang, saya putuskan ambil penerbangan. Fix tanggal 28 Juli, melalui dua maskapai, yakni Lion Air dan Air Asia (booking via Traveloka). Untuk Lion Air jam keberangkatan 21.45 (PLG – CGK), Air Asia keesokan harinya yakni 05.50 (CGK – JOG). Sementara dari Lubuklinggau ke Palembang, saya naik kereta siang berangkat 09.30, sampai (tertera di tiket) 16.40. Ada waktu cukup buat check-in.

Namun sayang, rencana yang telah disusun di atas mulai mendapat ujian. Tanggal 27 (sehari sebelum keberangkatan), saya mendapat SMS dari Lion Air bahwa penerbangan dimajukan dari 21.45 menjadi 20.25. Artinya paling lambat saya check-in adalah 19.30, lewat dari itu counter ditutup. Sedang, perjalanan kereta, tidak bisa berharap tepat waktu.

Kecemasan mulai menghinggap. Tidur mulai tidak nyenyak.

Perjalanan Kereta (Lubuklinggau – Palembang)

Subuh saya bangun. Sholat berjamaah di Musholla. Pulang. Siap-siap. Lalu olahraga sebentar bersama orangtua (orangtua saya memang rutin berolahraga; kadang menjadi cambuk sendiri buat saya yang jarang). Siap-siap lagi. Sarapan. Dan berangkat ke stasiun.

Di stasiun, orang-orang sudah ramai. Saya menuju loket. Menukar tiket. Masuk. Mencari nomor duduk, lalu melihat-lihat di sekitar. Tak lama kemudian, dua bocah usia 5 dan 3 tahun mendekat. Tanpa rasa takut, dia bercakap-cakap dengan saya. “Om! Om! Saya punya Hp. Bagus!” Saya tersenyum lalu meladeni mereka hingga satu keluarga (ayah, ibu, anak) masuk ke gerbong di mana saya berada sambil ribut-ribut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline