Tiada angin tiada hujan, hari itu Mbah Muji tiba-tiba berhasrat sekali untuk menebang pohon beringin yang tumbuh di depan halaman rumahnya. Padahal, pohon beringin itu telah ada sejak sebelum Mbah Muji dilahirkan. Banyak anggota keluarga─terutama istrinya sendiri─menentang upaya tersebut. Biar bagaimana pun, menurut mereka, pohon beringin itu telah berjasa menemani lika-liku perjalanan keluarga lebih dari tiga generasi. Bahkan jauh sebelum junjungan mereka, Samin Surontiko yang dirahmati alam, masuk ke Blora dan mendirikan perkumpulan Sedulur Sikep.
“Nggak! Pokoke kalian harus manut! Pohon itu kutebang siang ini. Titik!” Mbah Muji kukuh di depan istri dan anak-anaknya.
“Tapi Pae…”
“Cukup! Aku nggak mau dengar apa-apa lagi! Minggat kalian semua! Dibilangin ngeyel terus!”
Parmin si sulung akhirnya pergi dengan muka masam. Sedang Bejo dan Karsam beringsut ke kamar, mereka tahu, bila bapaknya sudah berkehendak, tidak ada yang bisa melawan. Pun begitu dengan ibunya. Menyerah.
Mbah Muji kemudian pergi ke rumah Supeno, sahabat lamanya, untuk meminjam kapak. Setelah mendapatkannya, ia pulang lagi dan segera melakukan ritual. Sebagaimana tradisinya, sebelum menebang pohon, Mbah Muji terlebih dahulu menyirami pohon tersebut dengan air kembang tujuh rupa. Konon, setiap pohon ditunggui satu makhluk halus. Maka itu, untuk mengusirnya perlu disirami air kembang.
Setelah selesai, Mbah Muji mulai mengayuhkan kapak ke batang pohon itu secara berirama. Barulah empat-lima kayuhan, tiba-tiba Parmin memanggilnya dari kejauhan.
“Pae! Pae! Ada kabar penting!”
“Anak gendeng! Apa lagi maunya.” Mbah Muji menghapus peluhnya di dahi. “Opo? Kabar opo?” sergah Mbah Muji sesampainya Parmin di hadapannya.
“Tadi Ki Karjo bilang, ada pemberitahuan dari pemerintah bahwa kita semua disuruh buat KTP besok.”
“KTP? Opo itu?”
“Itu loh Pae, kertas kuning yang ada gambar kita di sana.”
“Oh itu, moh! Buat apa? Mereka itu suruh kita buat itu karena ada maunya. Agar kita bayar pajak. Moh!”
“Tapi Pae, ini wajib katanya. Kalau nggak, mereka akan tuduh kita kayak kampung sebelah. Dengan sebutan apa itu?” Parmin mencoba mengingat-ingat.
“Kumunis.”
“Ya, Kumunis. Mau Pae seperti itu?”
Mbah Muji langsung terdiam mendengar ucapan Parmin. Ia tahu, bila sudah ada tuduhan seperti itu, artinya tidak baik. Soalnya, sepuluh tahun lalu, masih terngiang di benaknya, bagaimana orang-orang kampung sebelah hilang setelah dicap Kumunis. Bahkan, hingga kini, tidak satu pun dari mereka yang jelas keberadaannya; apakah masih hidup atau tidak.
“Loh, tapi apa hubungannya dengan kita?” Mbah Muji berupaya protes. “Kita kan Sedulur Sikep bukan Kumunis.”
“Mana aku tahu Pae. Itulah yang kudengar dari Ki Karjo di balai kampung tadi. Sebaiknya Pae ke sana saja, mereka masih bermusyawarah.”
“Edan! Baiklah kalau begitu, nih kamu terusi tebasannya.”
“Baik Pae.”
Mbah Muji lalu menyodorkan kapak itu pada putra sulungnya. Setelah dipastikan Mbah Muji hilang di ujung jalan, Parmin segera membuang kapak itu jauh-jauh. “Enak saja, kerjakan sendiri!” ucap Parmin tanpa rasa bersalah.
****
Balai kampung telah disesaki orang-orang. Mereka telah tumpah ruah hingga ke pintu dan jendela-jendela balai. Mereka benar-benar antusias mendengarkan Ki Karjo bicara. Sebelumnya, tidak pernah ada musyawarah yang menyedot perhatian hingga sebegitu banyak. Paling pernah saat terjadinya kemarau yang membuat mereka gagal panen. Mbah Muji mulai menyibak kerumunan orang-orang di pintu. Karena ia termasuk salah seorang yang berpengaruh, orang-orang itu pun memberikannya jalan.
Panjang lebar Ki Karjo menerangkan persoalan KTP. Panjang lebar pula orang-orang tidak mengerti. Selama ini, mereka memang tidak mengenal yang namanya KTP. Ada satu-dua dari mereka dulunya yang pernah buat KTP. Namun setelah itu, mereka diusir dari Sedulur Sikep, karena di dalam keterangan KTP itu, mereka mengaku sebagai pemeluk Islam.
“Nuwun sewu Ki Karjo, aku nggak mau nantinya diusir gara-gara ini. Dan aku nggak mau dibilang orang-orang berkhianat dari agama Adam. Ki Samin Surontiko yang dirahmati alam pasti sangat murka.”
“Betul!” sambar sebelahnya, “wong iku duwe negarane dhewe-dhewe.”
“Ya, betul!”
Hingga semua orang yang hadir di dalam balai itu pun saling bersautan layaknya orkes jalanan.
“Tenang,” pinta Ki Karjo, “kalian harus bisa menahan diri dulu. Aku belum selesai bicara. Begini, dengarkan sekali lagi. Kalian tahu perihal hilangnya orang-orang kampung sebelah, tiga tahun lalu? Ya, aku kira kalian tahu. Bahkan, mungkin, ada anggota keluarga kalian yang mengalami itu. Pertanyaannya, apakah kalian mau peristiwa itu berulang di sini? Satu per satu dari kita hilang?”
“Loh, apa hubungannya?” sergah seorang.
“Jelas ada hubungannya. Mereka itu hilang karena dianggap Kumunis. Pemerintah bilang, Kumunis itu terlarang. Dan ciri-cirinya tidak beragama. Makanya, mereka harus ditumpas.”
“Tapi kan kita punya agama, agama Adam,” timpal seorang lagi.
“Nah, itu dia persoalannya. Pemerintah hanya mengakui lima agama di negara ini: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Lain dari itu, mereka tidak mengakuinya.”
“Sontoloyo! Mereka tidak bisa berbuat begitu! Agama kita sudah ada sebelum negara ini ada!”
“Ya! Mereka tidak bisa semena-mena,” sambar yang lainnya hingga musyawarah kembali pecah. Bahkan, salah satu dari mereka berkata: siap mengangkat parang.
Melihat situasi semakin tidak kondusif, Mbah Muji beranjak ke depan, mendekati meja Ki Karjo. Ia kemudian angkat bicara:
“Tenang saudara-saudara! Ki Samin Surontiko akan selalu bersama kita! Ia tahu, bahwa kita akan selalu menjaga ajarannya, terutama mligi. Bukankah begitu saudara-saudara?”
“Ya, betul!” jawab mereka sorak-sorai.
“Nah, untuk menjalankan mligi, kita harus jujur juga pada diri sendiri. Apakah ingin hidup atau tidak? Coba kalian pikir saudara-saudara, bila satu per satu kita hilang, siapa lagi yang akan menjalankan ajaran mligi. Kuntilanak? Wewe Gombel? Atau Mak Lampir? Jelas bukan mereka, tetapi generasi kitalah. Dulu, kenapa Ki Samin Surontiko berjuang mati-matian hingga rela dibuang ke Sawahlunto oleh Kumpeni, karena ia tahu, lawannya adalah bangsa asing. Jadi, mereka tidak berhak semena-mena terhadap kita. Tapi kini, sudah berbeda situasi, lawan kita adalah bangsa kita sendiri. Sama-sama lahir di tanah ini. Apakah kita perlu memberikan perlawanan yang sama sebagaimana dilakukan Ki Samin?”
Semuanya terdiam. Mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun selain membiarkan suara Mbah Muji terus menggema seisi ruangan.
“Untuk itu saudara-saudara,” lanjut Mbah Muji, “kita harus pikirkan lagi tawaran Ki Karjo. Barangkali ia benar. Kita harus mengalah barang sejenak, bukankah itu pula yang diajarkan Ki Samin Surontiko yang dirahmati alam, melawan dengan bersahaja. Anggap saja agama yang tertera di KTP itu sebagai pormalitas. Tetapi rialitinya kita tetap memeluk agama Adam. Setuju tidak saudara-saudara?”
Mereka belum menjawab.
“Ki Karjo! Bila nantinya kita membuat KTP, agama apa sebaiknya?” bisik Mbah Muji.
Ki Karjo yang dari tadi terbelalak mendengar ucapan Mbah Muji yang menurutnya tajam menjawab terbata-bata, “Anuh, sebaiknya Islam saja. Wong Islam paling banyak di negara ini. Presiden saja katanya Islam.”
“Setuju saudara-saudara, kita memilih Islam?” tanya Mbah Muji sekali lagi.
“Tapi,” ucap seorang yang akhirnya berani buka suara, “apa ada jaminan nantinya kita bakal tidak hilang? Bagaimana seandainya salah satu dari kita tetap hilang?”
Ki Karjo segera menjawab, “Jangan khawatir saudara. Aku bisa memberikan jaminan.”
“Terus, walaupun kita ber-KTP Islam, kita masih bolehkan menjalankan ajaran Ki Samin?”
“Tentu saja boleh. Sekali lagi ini hanya pormalitas.”
Musyawarah pun akhirnya selesai, dengan keputusan bahwa mereka sepakat untuk membuat KTP besok di kantor kelurahan yang tak jauh dari kampung mereka. Dengan pilihan agama: Islam. Dalam benak mereka, sebenarnya Islam sudahlah tidak asing. Pernah beberapa kali ada tamu yang datang dan membujuk mereka memeluk Islam. Tapi mereka tetap kukuh mempertahankan ajaran Samin.
****
Pagi-pagi sekali, Mbah Muji telah mengenakkan pakaian kebesarannya, celana potong di bawah lutut dengan kaos pendek biru gelap dan ikat kepala hitam bermotif batik di bagian pinggirnya. Begitu pula Parmin, Bejo, dan Karsam mengenakan pakaian yang sama. Hanya istrinya yang belum bersalin. Pikir Mbah Muji, istrinya lebih baik di rumah. Nanti setelah mereka pulang, barulah gilirannya.
Ketika melangkah ke luar rumah, Mbah Muji langsung mangkel. Ia tidak menyangka bila pohon beringin di depan halaman rumahnya itu masih berdiri gagah. Mbah Muji kemudian memelototi Parmin. Seingatnya, sebelum ia ke balai kampung kemarin, ia menugasi Parmin untuk meneruskan membabat pohon itu. “Dasar anak keparat! Bisanya buat orangtua dongkol,” guman Mbah Muji.
Di kantor kelurahan, banyak dari mereka telah menunggu. Menurut kabar Ki Karjo, pemerintah memang telah mengkhususkan hari ini buat orang-orang Sedulur Sikep membuat KTP. Bahkan katanya, pemerintah sampai menyediakan potret gratis segala.
Satu per satu dari mereka didata. Mbah Muji dan ketiga anaknya dapat antrian paling belakang. Sembari menunggu, Mbah Muji melihat-lihat poster yang tertempel di dinding luar kantor. Ada poster yang bergambar nyamuk. Ada poster yang bergambar empat sehat lima sempurna. Dan ada pula poster bergambar pria paruh baya yang sedang tersenyum sambil melambaikan tangan kanannya. Tepat di bawah poster itu terdapat logo bergambar pohon beringin. Mbah Muji jadi teringat ulah Parmin.
“Muji, Parmin, Bejo, dan Karsam, masuk!” panggil pegawai kelurahan.
Mendengar namanya dipanggil, empat beranak itu pun masuk. Hanya nyeker ayam dan penampilan yang jauh dari kesan formal, mereka duduk di kursi panjang tanpa rasa berdosa. Pegawai kelurahan hanya bisa garut-garut kepala.
“Bapak yang bernama Muji?”
“Ya!”
“Pernah buat KTP sebelumnya?”
“Belum!”
“Baiklah! Silakan sebut tanggal kelahiran Bapak, agama, dan pekerjaan?”
“Agama, Islam. Pekerjaan, tani. Tanggal lahir, dikira-kira saja Pak!”
“Sip! Silakan Bapak potret dulu di sebelah. Selanjutnya!”
Begitu pula Parmin, Bejo, dan Karjo, mereka diberikan pertanyaan sama, dan menjawab sama seperti jawaban Mbah Muji: agama Islam, pekerjaan tani, tanggal lahir dikira-kira saja. Setelah keempatnya selesai potret, mereka lalu diarahkan seorang pegawai yang mengenakan jas kuning ke salah satu ruangan.
“Kalian satu keluarga?” tanya pegawai itu sambil menyilakan mereka duduk.
“Ya!” jawab Mbah Muji.
“Baiklah! Begini, setelah kalian mendapatkan KTP nantinya, kalian akan mendapatkan pula kartu suara. Kartu suara digunakan untuk pemilihan umum yang beberapa bulan lagi diadakan. Kalau tidak salah, 2 Mei 1977. Apakah Ki Karjo telah memberitahukannya?”
“Belum!”
“Seharusnya dia memberitahunya.”
“Memang kenapa?” tanya Mbah Muji tidak sabar.
“Baiklah! Ketika pendataan tadi, apakah kalian memilih Islam?
“Ya!” jawab Mbah Muji.
“Nah, di sini, yang Islam musti milih beringin.”
Pegawai itu lalu menyodorkan sebuah gambar pohon beringin dengan latar bewarna kuning persis seperti yang tertempel di luar tadi.
Parmin yang melihat gambar itu langsung berbisik, “Tuh kan Pae, pohon beringin itu keramat, kita tidak boleh sembarangan menebangnya. Lihat saja mereka, menyukai pohon beringin.”
Mbah Muji hanya menghela nafas mendengar bisikan anaknya itu. Ia tidak menyangka, negara tempat ia berdiri, ternyata menyukai pohon beringin. Saking sukanya mereka, hingga dijadikan gambar, disuruh pilih lagi. Pikiran Mbah Muji kemudian berkelebat hingga ke rumah, di depan halaman rumah tepatnya. Di mana ia akan menyaksikan lagi hari demi hari pohon beringin itu. Ngenes.
Sumilir, 2013
(NB: Cerpen ini termuat dalam buku antologi "Rayuan Pohon Beringin" terbitan Gadjah Mada Press)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H