Lihat ke Halaman Asli

Robbi Khadafi

Tukang Ketik, Sang Pengantar

Living Law Tidak Perlu Dijadikan Hukum yang Tertulis

Diperbarui: 31 Agustus 2019   05:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Diskusi bertema "Living Law dalam RKUHP" di Kantor YLBHI, Senin (26/8/2019) (Dokumen pribadi)

DPR dan pemerintah berencana akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang  (UU) dalam waktu dekat. Namun berbagai kalangan masyarakat sipil menolak disahkannya RKUHP menjadi UU. Sebab masih banyak pasal-pasal yang bermasalah. Salah satunya pasal yang mengatur masalah hukum yang di hidup di masyarakat atau living law.

Dosen hukum pidana Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian, mengatakan hukum yang hidup di masyarakat tidak perlu dijadikan hukum yang tertulis. Pasalnya, hukum tersebut mengalami evolusi seiring dengan kearifan lokal.

"Pelanggaran atas hukum yang hidup, hanya bisa dituntut di dalam masyarakat yang masih mengakuinya sebagai norma," kata Ahmad Sofian dalam diskusi bertema 'Living Law dalam RKUHP' di kantor YLBHI, Senin (26/8/2019).

Lebih lanjut Ahmad Sofian mengatakan bahwa untuk tindak pidana adat yang sudah menjadi bagian norma hukum yang bisa diberlakukan secara nasional maka dapat dirumuskan sebagai norma dalam RKUHP.

Foto: Koalisi Masyarakat Sipil Tolak RKUHP di Kantor YLBHI, Senin (26/8/2019) (Dokumen pribadi)

Ia juga memaparkan bahwa hukum pidana adat itu terdiri dari heterogen antar suku, umumnya tidak tertulis, suasana kebatinan, tanggungjawab komunal dan sanksi adat tidak mengenal formil dan materil. "Pidana formil ini yang merepotkan. Hukum adat tidak memberikan batasan mana administrasi," tuturnya.

Ahmad Sofian mengkritisi penanganan kasus pidana oleh penegak hukum. Kasus hukum dapat cepat diproses apabila ada tekanan publik. Sayangnya mereka meminjan ahli untuk justifikasi pelanggaran. "Mencari norma yang ada bisa kriminalisasi," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa RKUHP di ibaratkan rumah yang atapnya banyak bolong-bolong. Sehingga sulit menjadi produk bangsa Indonesia. "Begitu juga living law ini bolongnya sangat luar biasa," katanya.  

Ditempat yang sama, Dominikus Rato Akademisi Universitas Jember menambahkan bahwa Indonesia ini budaya tutur bukan budaya tulis. Ketika budaya tutur diformalkan pada budaya tulis, kata dia, akan terjadi goncangan karena bertentangan dengam filosofi RKUHP.

"Hukum adat tidak ada pembidangan. Ketika manunggal dipecah-pecah akan terjadi kesakitan ini membuat ruang disintegrasi," kata Dominikus.

Sebab itu Dominikus meminta biarkan negara membuat hukum negara. Jangan turut campur dengan hukum adat. Apabila ada kasus hukum adat, maka selesaikan terlebih dahulu melalui hukum adat. "Berikan hak yang untuk hukum adat," ujarnya.

Foto: Diskusi publik bertema "Living Law dalam RKUHP" di Kantor YLBHI, Senin (26/8/2019) (Dokumen pribadi)

Era Purnama Sari, Wakil Ketua Advokasi YLBH berpandangan masyarakat itu sendiri yang bisa tentukan hukum adat yang hidup di masyarakat. Tidak bisa pemerintah ikut campur. "Tidak tepat dimasukkan dalam KUHP. Kita tidak kekurangan norma, hampir semua diatur dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi," kata Era Purnama Sari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline