Mungkin Petolo (baca : petulo) adalah salah satu jajanan tradisional yang hampir punah. Jajanan asli Malang yang rasa dan rupa mirip Putu Mayang atau Angsle ini bahkan di kota asalnya pun belum pernah aku temui. Mungkin blakrakku kurang adoh.
Justru aku menemui Petolo Mayang (kuah santan isi putu mayang, serabi dan ketan) ini di Pasar Ngarsopuro (pasar khusus elektronik, musik, dan olahraga). Tepatnya di seberang Pura Mankunegaran, Jl. Ronggowarsito No.97 Surakarta. Tanyakan Pakde Google Maps.
Gerobaknya ngendon di parkiran depan gedung MTA (Majelis Tafsir Al Qur'an). Mungkin si penjual niatnya jualan sambil ngaji. Salut, semoga istiqomah.
Aslinya dia ini penjual keliling. Nggak menetap di tempat yang resminya area parkir Pasar Ngarsopuro. Makanya dia sering main petak umpet sama Satpol PP. Tapi nggak pernah kapok buka lapak di sana. Satpol PP dan kaki lima itu kadang lutju.
Salah satu yang hebat dari penjual Petolo ini (gak tau takok jenenge), harganya nggak pernah naik. Dari anakku masih TK sampai jadi Mahasiswa, harganya tetap lima ribu rupiah. Opo yo gak kepingin ngoleksi Ferrari.
Dagangannya memang laris, karena rasanya oke punya. Kalau ramai, bisa habis 400an mangkok. Biasanya saat ada pengajian MTA di hari minggu (bukan sekolah minggu).
Jamaahnya datang dari segala srata sosial. Mbludak gak karu-karuan. Minibus berbaris di pinggir jalan kayak tentara latihan PBB. Dari bakul keong sampai pengusaha Kebab. Mendengarkan ceramah sampai ngantuk-ngantuk. Mungkin mbahas warisan. Lha wong gak duwe warisan.
Ini contoh pengajian yang oke, nggak cuman untuk nutrisi jiwa, tapi juga menghidupkan ekonomi rakyat. Karena memunculkan pasar kaget. ---Fyi, aku bukan MTA. Bukan juga NU, Muhammadiyah, apalagi LDII. Gak kabeh. Sing jelas KTPku Islam--.
Ada orang yang berdagang dengan perencanaan yang sangat matang, semua dikalkulasi dengan sangat cermat, tapi kok ya pembelinya sporadis. Swepi, dobolll. Tapi ada yang berdagang dengan rileks, niatnya ibadah dan urusan martabat, malah laris. Ya'opo iku.
Kayak Penjual Petolo yang asli Malang ini. Malang tapi yang pelosok desa. Makanya belum terkontaminasi gaya hidup metropolis. Cara menyikapi hidupnya nggak ngoyo, sak madya. Pelanggannya sudah banyak tapi nggak ada keinginan bikin franchise atau buka cabang.