Lihat ke Halaman Asli

Robbi Gandamana

TERVERIFIKASI

Ilustrator

Etika Lebih Penting daripada Fikih?

Diperbarui: 20 Mei 2019   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Alhamdulillah dapat kiriman buku lagi dari penerbit Noura (group Mizan). Termasuk rezeki iki rek. Zaman sekarang ilmu  itu rezeki yang tidak diakui. Tapi gak popo. Oh iya, kebetulan aku yang nggambar covernya (lumayan yo).

Di dalam buku sederhana ini, Nadirsyah Hosen atau yang lebih dikenal dengan Gus Nadir cukup piawai mengurai kesempitan-kesempitan berpikir. Kyai muda ini memang smart, bekgron keilmuannya nggak diragukan lagi. Pendidikan formal dan non formal dia kuasai dengan baik (baca di Wikipedia, nggolek enake tok ae koen iku).

Gus Nadir di sana cukup gencar mendakwahkan ajaran Islam yang lentur, luwes dan luas. Dan sekarang dia dicap Liberal oleh kaum Nganu. Wis tau. Biasane yo ngono. Kalau mengajarkan keluwesan dicap Liberal, tapi kalau mengajarkan kekakuan dicap radikal. Podo ae. Mending nggak usah cap-capan, dilakoni ae. Sing penting gak ngisruh.

Islam aliran sempit ternyata nggak cuman menjalar di Indonesia, tapi juga menjangkiti Australia. Di buku ini Gus Nadir menceritakan pengalamannya bergaul dengan sesama muslim dari berbagai negara saat menuntut ilmu di kampus ternama di negeri kanguru itu.

Islam itu agama yang dimudahkan, tapi malah dibikin sulit. Purifikasi (pemurnian) yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (pengikutnya disebut Wahhabi) telah menjalar kemana-mana. Di Australia muslim jenis ini biasanya dari Pakistan dan atau negara-negara Timur Tengah. Mereka begitu reseh menyikapi hal yang sederhana, menjadikannya ruwet. Agama jadi kayak militer, kaku mekengkeng.

Misalnya soal halal haramnya makanan atau minuman. Saat acara makan-makan, tamu (muslim) yang hadir masih sempat-sempatnya tanya pada tuan rumah (yang juga muslim), "Ini daging ayamnya beli dimana?", "Yang menyembelih pakai menyebut nama Allah nggak?", "minyaknya pakai minyak babi nggak?", dan seterusnya. Gak sopan blas.

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu harusnya nggak sopan ditanyakan. Mengingat yang bikin acara (tuan rumah) adalah seorang muslim dan yang disajikan pun jelas-jelas daging ayam (halal). Tinggal mbadok ae kok yo leren nggambleh disik.

Aku dulu saat makan siang, makannya di warung seorang Nasrani. Tapi nggak ada pikiran sama sekali untuk nanya proses masak masakannya. Aku percoyo ae. Sakarepmu kono nggorenge karo minyak jelantah opo minyak tawon. Sing penting segone akeh dan murah. Sip wis.

Etika harusnya lebih didahulukan daripada fikih. Menjaga perasaan tuan rumah itu jauh lebih baik. Nabi sendiri selalu berprasangka baik saat dikasih makanan dari non Muslim. Ketika ditanya sahabatnya soal kehalalan makanan pemberian non muslim tadi, Nabi menjawab singkat, "Baca Bismillah dan makanlah." Beres.

Nggak cuman soal makanan. Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang dibikin rumit dan jadi ribut. Salah satunya masalah klasik mengucapkan selamat Natal. Ternyata sama seperti di sini. Bakalan tiap tahun (sampai kiamat) muslim di negeri ini akan terus ribut mempersoalkan pengucapan selamat Natal.

Padahal mengucapkan selamat itu cuman soal tata krama, interaksi sosial sesama anak bangsa. Sama sekali nggak ada hubungannya dengan teologi. Kalau kamu mengucapkan selamat pada temanmu yang menikah, bukan berarti kamu setuju dengan pilihan pasangan dia. Sesederhana itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline