Lihat ke Halaman Asli

Robbi Gandamana

TERVERIFIKASI

Ilustrator

Film "Tenggelamnya Kapal van der Wijk" dan Deja Vu Bangsa Melayu Malaysia

Diperbarui: 31 Januari 2019   12:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Robbi Gandamana

Model gambar di atas saya ambil dari salah satu adegan Hayati (Pevita Pearce) di film"Tenggelamnya Kapal van der Wijck" (2013). Apik yo huwehehe...awas nek wani ngomong elek. Di tahun politik ini aku ingin menyuguhkan yang indah-indah saja (khususnya di medsos). Ojok ngomong politik nek gak paham betul, bahaya, sekaligus ngisin-ngisini.

Wis tau nonton pilem "Tenggelamnya Kapal van der Wijck" nggak rek? Nek durung, nontono disik, aku males (nggak bisa) nulis review-nya.

Film yang diadopsi dari novel berjudul sama karya Buya Hamka ini memang oke. Memang banyak kesedihan, keharuan di film ini tapi tidak terus terjebak pada kecengengan. Cinta sejati kadang memang "asu", menyakitkan. "Love you so much makes me sick" kata Kurt Cobain yang sangat mencintai Tobi Vail (mantan pacarnya sebelum dengan Courtney Love).

Bekgron pemandangan alam yang menakjubkan di Film ini membuat banyak orang Malaysia keturunan Melayu merasa deja vu. Mereka seperti menemukan dirinya di film tersebut. Keindahan alam yang digambarkan di adegan film seperti nggak asing bagi mereka, seperti pernah hidup di sana di suatu masa.

Itu bisa terjadi karena nenek moyang orang melayu Malaysia itu dari Minang. Raja-raja Malaysia kebanyakan dari sana. Buya Hamka sangat hafal nama raja-rajanya beserta gelarnya yang panjang. Buya Hamka sendiri sering diundang ceramah di sana. Di zaman itu Malaysia masih banyak berguru pada orang Indonesia. Embuk nek saiki.

Buya Hamka bukan hanya milik orang Indonesia, orang Melayu Malaysia juga merasa ikut memiliki beliau. Orang Melayu Malaysia punya semacam ikatan batin yang kuat dengan Buya Hamka. Buya Hamka dianggap sebagai sesepuh, orang yang dituakan oleh orang melayu.

Karya-karya beliau sepertinya lebih diterima di Malaysia, karena bahasa yang dipakai bahasa Melayu, setting tempatnya juga kebanyakan di tanah Minang tempat leluhur orang Melayu. Buya Hamka adalah jembatan bagi orang Malaysia untuk mengenal leluhurnya.

Diam-diam bangsa Malaysia (terutama yang keturunan Melayu) itu mencintai Bangsa Indonesia. Ojok ngomong sopo-sopo. Mereka nggak cuman sekedar Negeri Jiran, tapi saudara. Bangsa-bangsa Eropa lah yang sukses memecah belah bangsa-bangsa Nusantara.

Mereka kagum dengan keanekaragaman budaya kita. Anak mudanya banyak yang  tergila-gila dengan band atau penyanyi Indonesia. Seperti kita yang kagum dengan Siti Nurhaliza. Mereka lebih memlih melihat film Indonesia daripada film produksi Malaysia.

Kita menyangka orang Malaysia itu bajingan semua karena baca komen-komen mereka di medsos. Termasuk aku mbiyen. Padahal TKI kita di sana baik-baik saja. Malah TKI di Arab yang sering bermasalah. Pulang-pulang wetenge mblendung, meteng. Ditumpaki juragane. Atau malah nggak pulang sama sekali. Mati di tiang pancung.

Kalau mereka mencaplok pulau terluar negara kita atau mengklaim budaya kita, itu bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Kita juga punya andil atas itu. Kita itu bangsa yang hobi bertengkar dengan sesama saudara sebangsa. Kita terlalu sibuk mengadu kebenaran dengan kebenaran, akhirnya jadi lupa bernegara, lupa berbudaya dan lupa-lupa yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline