Agama Islam saat ini memang agama yang paling rewel. Bangsa di luar sana sudah berencana mendarat di planet Kepler, tapi kita tiap hari masih saja ribut soal halal haram.
Tapi, sebenarnya bagus kalau tiap hari ngomong soal agama. Itu menunjukan bahwa Tuhan masih menjadi faktor utama dalam hidup berbangsa. Walau nggak agamis banget--masih ada yang mbalelo--tapi lumayanlah....remuk.
Yo wis babah lah. Rewel itu juga akibat dari sifat perfeksionis, bahwa Islam bukanlah agama yang serampangan. Mereka hanya tidak ingin Islam ternoda atau dinodai.
Di luar sana banyak bangsa yang makmur, tapi sayang Tuhan 'dibunuh' di kehidupan mereka. Buat apa makmur kalau tidak beragama, tidak berTuhan. Kerajaan Fir'aun sangat makmur, tapi akhirnya hancur juga karena Tuhan diremehkan .
Jadi teruslah bicara agama, asal tetap damai, tidak demo kisruh berjilid-jilid yang bikin jalan macet, ekonomi cupet. Teruslah mbahas agama, asal jangan jadi umat pemarah. Sedikit-sedikit haram, haram kok sedikit-sedikit. Mengucapkan 'Selamat Natal' haram, merayakan Tahun Baru haram, meniup terompet dianggap pro Mas Yudi.
Banyak orang sangat paham dalil, Al Qur'an dibolak balik pun tetap hafal, tapi sayang cuman sebatas tekstual. Kedalaman pemahamannya gawat, karena hanya membaca dan menghafal doang. Sudah gitu nggak paham substansi.
Merayakan Natal dan merayakan ultah itu sama secara substansi, sama-sama merayakan hari kelahiran. Tapi secara teknis dan tujuan bisa sangat berbeda. Jadi, mengucapkan selamat Natal itu tidak haram. Semua tergantung dari konsep dan niatnya.
Dengan mudahnya orang sekarang memusyrik-musyrikan orang. Itu terjadi karena mereka berhenti hanya di Al Qur'an. Dipikirnya mengaji (belajar) hanya pada Al Qur'an. Mereka tidak mengaji kepada gunung, laut, pohon, sungai, dan semua yang ada di alam raya ini.
Ingat hadits tentang Rasulullah ngomong begini : "Gunung Uhud ini mencintai kita, dan kita mencintainya." Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa gunung Uhud itu hidup. Itu adalah sebuah penghormatan oleh gunung Uhud pada Rasulullah, karena telah disinggahi beliau.
Orang Jawa jadul sudah paham itu. Mereka berdialog dengan alam. Makanya kalau nggak paham konsep dan niatnya, jangan terburu memusyrikan kalau ada orang larung sesaji ke laut atau di mana pun. Itu nggak ada hubungannya dengan gendruwo, jin iprit, demit. Kalau ada, itu oknum. Syirik atau tidak syirik itu terletak pada niat di dalam hati, bukan pada bendanya atau apa yang tampak mata.
Bagiku, ritual semacam itu cuman budaya, ibadah muamallah. Dilakoni monggo, ora dilakoni ora popo. Monggo kerso. Apa kalau doanya pakai bahasa Jawa terus jadi syirik? Ya enggaklah. Doa pakai bahasa apapun boleh, mau bahasa Jawa atau Arab terserah. Asal jangan pakai bahasa gaul. "Ya awoh, bikin akooh cemungudh ya awoh. Ini ciyus, enelan. Maacih."