Lihat ke Halaman Asli

Robbi Gandamana

TERVERIFIKASI

Ilustrator

Kita Terbiasa Menggunakan Parameter Ngawur?

Diperbarui: 30 Oktober 2015   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir di segala bidang kita sering menggunakan parameter yang ngawur dalam menilai. Seperti saat pemilihan Caleg, Cabup dan Ca Ca lainnya.  Parameter calon pemimpin yang layak dipilih adalah yang nyumbang pembangunan jalan, Poskamling dan sarana umum lainnya. Rakyat tak mau tahu kalau duit sumbangan itu sebenarnya dalam rangka membeli suara.

Saya masih bingung sampai sekarang bagaimana dulu tanaman Jemani bisa berharga ratusan juta. Terkena radiasi darimana otak kita, sampai mendewakan tanaman yang bentuknya sangat sederhana. Kalau Bonsai sangat layak harganya mahal. Karena membutuhkan sentuhan seni, kesabaran dan waktu yang lama untuk membentuknya.

Sadar nggak sadar kita pernah gemblung berjamaah. Manusia gemblung di saat yang gemblung berada di jaman gemblung. Gemblung bersatu tak bisa diarahkan.

Kita terbiasa menggunakan parameter nilai seseorang  atau sesuatu bukan karena  terbaik. Tapi karena terbanyak sogokannya, terkenal, tercantik, terseksi, terunik dan ter ter yang lain. Sehingga artis yang cantik nan seksi pun pada Nyaleg, padahal saat diadu debat visi dan misinya, gelagepan. Modal utamanya cuman populer.

Ada orang yang dianggap berprestasi cuma karena goyangnya yang heboh. Sampai menginspirasi orang lain untuk bergoyang lebih heboh lagi : goyang ngebor, goyang ngecor, goyang itik, goyang gemblung. Ada juga yang dielu-elukan lantaran doi polisi yang pinter joget ala artis Bollywood. Bahkan ada yang terkenal karena sebuah prestasi : nyanyi Lipsync di Youtube.

Tapi biasanya orang-orang yang terkenal lewat cara instan tersebut nggak akan bertahan lama. Puncak prestasinya adalah saat jadi bintang iklan So Nice.

Karena parameter yang salah dalam menilai itulah akhirnya banyak orang yang 'kesasar'. Ingin terkenal dengan cara se-instan mungkin. Haus eksistensi dan puja puji. Ikut audisi kontes-kontesan di TV. Berburu penghargaan prestasi dari MURI (Museum Rekor Indonesia ; kata 'rekor' dari kata 'record' = rekam, di-Indonesia-kan malah jadi salah kaprah). Lembaga ini memberikan prestasi untuk rekor (dengan parameter) terbanyak, terbesar, terpanjang, tertinggi, tercepat, bukan yang terbaik.

Sebenarnya lucu kalau orang mengharapkan penghargaan (prestasi) dari MURI. Padahal MURI sendiri belum pernah mendapatkan penghargaan atau prestasi. Lembaga ini tidak memberikan perhargaan prestasi berdasarkan kwalitas yang sifatnya intelegensi. Apalagi untuk dapat penghargaan tersebut harus setor sejumlah uang yang tak sedikit. Jadi MURI adalah lembaga yang jualan prestasi dongg..??

Saya tidak sedang mendiskreditkan MURI. Dalam hal tertentu penghargaan dari MURI memang baik dan tepat. Misal pencatatan rekor buat orang yang telah 50 tahun berjasa melestarikan budaya ludruk. Orang tersebut hampir tiap malam manggung  dengan honor kecil. Prestasi di sini adalah pengabdiannya, tapi soal ngeludruknya belum tentu yang terbaik.

Atau juga penganugerahan rekor nggoreng nasi dengan koki terbanyak. Setelah itu nasi goreng disalurkan ke Panti Asuhan Yatim Piatu. Dari segi sosial, kegiatan itu sangat berkwalitas tapi nasi goreng yang banyak tadi belum tentu nasi goreng yang terbaik.

Bagi saya prestasi itu bukan main drum 5 hari nonstop, kuat nggak makan seminggu, betah tahan nafas 3 hari, mampu memiripkan wajahnya dengan berbagai jenis hewan. Prestasi itu suatu keberhasilan yang dicapai karena memaksimalkan akal pikiran dan usaha keras yang terus menerus (bukan karena okol, tampang dan uang). Dan keberhasilan itu bermanfaat bagi diri dan orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline