Lihat ke Halaman Asli

Rohingya: Kedaulatan, Kemanusiaan, Hukum dan Gerakan Mahasiswa

Diperbarui: 4 Januari 2024   13:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rohingya merupakan kelompok marjinal yang berhaluan muslim, yang sudah menempatkan etnis di myanmar, namun pemerintah myanmar tidak mengakui rohingya sebagai penduduk asli nya, karena dianggap etnis yang ilegal berasal dari india dan Bangladesh.

Melihat realita tersebut, tentunya itu suatu hal yang tidak mengenakan dipandang oleh public, sehingga banyak kasus diskriminasi terhadap etnis rohingya. Diskriminasi etnis Rohingya mapan ketika pemerintah Myanmar menghapus etnis Rohingya dari data etnis dan ras negaranya yang terlihat dalam "UU Kewarganegaraan Burma 1982". Myanmar memiliki 135 etnis dan Rohingya tidak mendapatkan hak nya untuk hidup di myanmar, dengan latar belakang sejarah seperti, bukan penduduk asli myanmar, Sehingga dengan pandangan semacam itu baik dari golongan mayoritas bahkan pemerintah, melakukan genosida terhadap etnis ini, genosida Terhadap Rohingya menjadi aksi besar-besaran pada 25 agustus 2017 di rakhine.

Dan argumentasi ini diperkuat alasan pemerintah myanmar melakukan kejahatan kemanusiaan itu adalah Etnis Rohingya memiliki budaya, bahasa, dan agama yang sangat berbeda dari kebanyakan Etnis Asli Burma (Suku-Suku Asli Myanmar) di Myanmar. Dan bentuk fisik nya sangat jauh berbeda dari kebanyakan etnis di myanmar, kemudian Rohingya mayoritas beragama islam, dianggap tidak menghargai kebudayaan dan agama budha, bahkan etnis Rohingya ini, meminta kawasan atau daerah untuk mendirikan negara otonom sendiri, untuk terlepas dari myanmar. Tentu dengan gerakan dan pikiran semacam itu myanmar merasa dirugikan dari segi wilayah, ekonomi, bahkan mempertaruhkan budaya dan kepercayaan nya.

Maka dari itu etnis ini tidak betah tinggal di myanmar, dan memutuskan untuk mengungsi di negara tetangga seperti Malaysia, singapura, dan Indonesia.

Melihat dalam hal ini pengungsi rohingnya sudah mengungsi di indonesia pada tahun 2009, akibat penolakan etnis tersebut di myanmar, namun, apalah daya, tingkah laku yang dipertontonkan sama hal nya ketika etnis ini berada di myanmar.

Disusul dengan lompatan yang jauh, akhir-akhir ini Indonesia dihebohkan kembali dengan rohingya mendarat lagi di aceh, total pengungsi sejak pertengahan November 2023 lalu mencapai 1.543 orang. Data itu penulis peroleh dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) per 10 Desember 2023.

Bahkan, ada juga isu UNHCR akan ada lagi pengungsi satu juta yang akan berlabuh di Sabang tersebut.

Banyak dari warga aceh menolak kedatangan etnis ini, karena dilema akan gesekan sosial menjadi dilema masa lalu, bahkan, penolakan ini juga digadangkan di ranah sosial media dan dikaitkan dengan isu penjajahan israel terhadap palestina. sehingga muncullah pandangan realisme politik dari semiotik publik, akan orientasi ancaman yang meluas di masa depan bagi Kedaulatan indonesia. Dan ada juga ber-narasi seperti " Indonesia saja masih banyak yang miskin, tapi masih saja menerima pengungsi rohingnya"

Menurut penulis itu adalah hal yang bagus sebagai kontruksi positif dalam tata kelola berpikir masyarakat Indonesia. Namun,  yang sangat di sayangkan akhir-akhir ini gerakan mahasiswa terdistorsi dan kehilangan makna, suatu hal yang tidak dapat diterima sebagai manusia, bahkan menolak sebagai manusia. dikarenakan rohingya sebagai pihak pengungsi dilatarbelakangi genosida, tapi, di negeri ini mereka juga hampir diberlakukan sama sebagai tidak mengenal manusia.

Maka kita berpikir rasional disisi kemanusiaan, semua manusia yang lahir tentu tidak pernah bisa memilih untuk terlahir dengan etnis apa di dunia ini

Ada Particular Konteks yang harus dipahami oleh warga negara indonesia, pemerintah dan capres, sekedar tahu itu sudah bagus, namun, perlu pemahaman yang komprehensif terhadap kasus yang kompleks ini. Walaupun indonesia tidak pernah meratifikasi konvensi pengungsi 1951 dan protocol 1967.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline