Lihat ke Halaman Asli

Rindu Mabuk

Diperbarui: 20 April 2016   01:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemarin Indonesia berduka atas mangkatnya Mbah Surip. Twitter menempatkan Mbah Surip di peringkat atas topik yang paling sering dicari. Bahkan seorang SBY melakukan jumpa pers khusus untuk menyampaikan pesan duka cita. Lalu kenapa hanya seorang kakek gimbal mantan pengamen jalanan bisa membuat kegemparan ini? Ada apa?


Mbah Surip bisa jadi bintang semalam, raja sehari di arus atas industri hiburan di Indonesia. Dia tampil menghibur dengan segala kejujuran seninya, dengan kepolosan kemanusiaannya. Minus riasan artis, mungkin karena menenggak bercangkir-cangkir kopi, dia tampil seperti orang mabuk...saat semua jujur keluar tanpa saring nalar.

Dalam mabuknya, ia bertemu kesadarannya. Kesadaran bahwa ia cuma manusia biasa. Manusia biasa yang punya hati. Hati yang ingin selalu membuat orang lain gembira. Kalau dulu ia hanya bisa bikin kawan-kawan komunitasnya terpingkal, kemarin dia bisa buat orang Indonesia berdendang.

Mbah Surip datang menggugat siang. Dia datang menggugah malam yang kelam sehitam kopi, dimana naluri rindu bangkit mengembara. Naluri manusia yang hakikatnya tak sempurna. Naluri yang tak malu bilang, ‘tadi aku makan, sekarang aku ingin buang hajat'. Naluri yang jujur berkata lapar kalau lapar dan haus jika haus. Seperti ibu macan yang tak segan menantang pejantan demi anaknya.

Lalu kenapa Indonesia berdendang? Kenapa bersedih?

Karena kita rindu mabuk. Kita rindu mabuk karena tak henti digempur kepalsuan hidup saat kita sadar. Kita rindu mabuk karena capek harus selalu bertopeng muslihat saat sadar, karena harus mencitrakan diri kita sempurna. Kita rindu mabuk karena kita lelah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline