Hari ini burung gagak menangis. Air matanya menjadi bulir-bulir permata, perhiasan yang digantungkan di permadani kaki langit. Kicauannya menjelma menjadi kidung kudus,
Menundukkan semua makhluk untuk bersujud. Sore ini, mentari merajuk dan memilih tidur di timur. Genta kematian dipukulkan tiga kali oleh gagak. Semua mati tanpa terkecuali.
Turun hujan tertatih tatih di tangga kehidupan. Gagak terbangun, merintih kesakitan. Bangkit dari tidur panjang, membuat sayap sayapnya meranggas. Nafas nya keras dan berbau anyir. Peluhnya adalah darah yang dipompa jantung dan dimuntahkan pori-pori. Matanya berwarna merah. Berupa Angkara murka. Tapi lebih banyak kekecewaan di sana.
Gagak ingin menagih janji tuannya. Ia terbang dengan bulu bulunya yang mencuat. Lepas satu demi satu seakan akan tak sudi melekat di kulitnya. Bukannya menuju langit, Gagak jatuh ke dalam jurang hitam. Semua menjadi Gelap dengan dosa tak berujung. Gagak terperangkap, Deru nafasnya memburu pilu. Air matanya bukan lagi mata air, Tapi nanah busuk berbau tengik.
Sesaat, Langit menderu gelisah, bumi menyimpan amarah. Iblis berkeluh kesah. Malaikat berdzikir sampai bibirnya basah. Tidak ada yang berkabung untuk gagak. Kecuali aku. Sabarlah gagakku sayang. Jika amarahmu tak didengar Tuan, maka aku yang akan mengetuk pintu pintu arsy nya. Agar Ia mau mendengarkan, Agar Ia peduli akan nasib sial burung gagak yang selalu menyebut namanya di atap rumahku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H