Lihat ke Halaman Asli

Prasetya Marisa

Pekerja , Pembelajar, dan Penulis Buku Diari.

Kebangkitan Gagak

Diperbarui: 31 Maret 2019   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Hari ini burung gagak menangis. Air matanya menjadi bulir-bulir permata, perhiasan yang digantungkan di permadani kaki langit. Kicauannya menjelma menjadi kidung kudus,

Menundukkan semua makhluk untuk bersujud. Sore ini, mentari merajuk dan memilih tidur di timur. Genta kematian dipukulkan tiga kali oleh gagak. Semua mati tanpa terkecuali.

Turun hujan tertatih tatih di tangga kehidupan. Gagak terbangun, merintih kesakitan. Bangkit dari tidur panjang, membuat sayap sayapnya meranggas. Nafas nya keras dan berbau anyir. Peluhnya adalah darah yang dipompa jantung dan dimuntahkan pori-pori. Matanya berwarna merah. Berupa Angkara murka. Tapi lebih banyak kekecewaan di sana.

Gagak ingin menagih janji tuannya. Ia terbang dengan bulu bulunya yang mencuat. Lepas satu demi satu seakan akan tak sudi melekat di kulitnya. Bukannya menuju langit, Gagak jatuh ke dalam jurang hitam. Semua menjadi Gelap dengan dosa tak berujung. Gagak terperangkap, Deru nafasnya memburu pilu. Air matanya bukan lagi mata air, Tapi nanah busuk berbau tengik.

Sesaat, Langit menderu gelisah, bumi menyimpan amarah. Iblis berkeluh kesah. Malaikat berdzikir sampai bibirnya basah. Tidak ada yang berkabung untuk gagak. Kecuali aku. Sabarlah gagakku sayang. Jika amarahmu tak didengar Tuan, maka aku yang akan mengetuk pintu pintu arsy nya. Agar Ia mau mendengarkan, Agar Ia peduli akan nasib sial burung gagak yang selalu menyebut namanya di  atap rumahku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline