[caption id="attachment_260471" align="aligncenter" width="654" caption="Petugas mengujicoba penggunaan mesin pembaca chip e-KTP (card reader) di Kementerian Dalam Negeri, Rabu (8/5/2013). Kementerian Dalam Negeri menghimbau kepada seluruh instansi pemerintah dan perbankan untuk menyediakan card reader e-KTP, sebab terhitung sejak 1 Januari 2014 KTP non elektronik tidak berlaku lagi. Selain itu e-KTP juga tidak boleh difotocopy karena dapat merusak chip./Admin (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)"][/caption]
Akhir-akhir ini Indonesia kembali ramai dengan berita e-KTP, sebuah sistem SIN (Single Identification Number) yang akan diterapkan di Indonesia. Media sempat ramai dengan gosip yang katanya "e-KTP tidak bisa difotokopi". Sangat disayangkan sebetulnya ketika proyek berbasis nasional ini, terlanjur disikat ketika baru akan muncul. Padahal, justru proyek ini bisa menjadi pintu gerbang Indonesia untuk menjelajah ke seluruh dunia.
e-KTP merupakan tindak lanjut dari undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam undang-undang ini dikatakan bahwa, setiap pendudukan akan memiliki sebuah NIK atau Nomor Induk Kependudukan yang bersifat tunggal dan berlaku selamanya. Dengan e-KTP inilah setiap orang akan memiliki NIK-nya masing-masing. Dengan begitu, pencatatan kependudukan, paspor, SIM, catatan pajak, asuransi, serta berbagai dokumen lainnya akan terintegrasi sehingga kesalahan pencatatan akan bisa dikurangi. Lebih jauh, data ini bisa juga diintegrasikan dengan data catatan kesehatan setiap individu.
Di Jepang sendiri, sistem SIN ternyata belum ada. Padahal, siapa yang tidak mengakui kemajuan teknologi negeri sakura ini? Ternyata, perdebatan penggunaan sistem SIN ini sudah terjadi sejak tahun 1980an. Setiap ada RUU tentang hal ini, hasilnya selalu diundur. Permasalahan teknologi pengamanan data memang tidak akan pernah habis dibahas. Tapi yang menarik adalah, perdebatan lebih banyak dititikberatkan pada kepercayaan masyarakat Jepang terhadap pemerintahnya sendiri. Nampaknya masyarakat Jepang masih belum bisa mempercayakan sepenuhnya hak pengelolaan data pribadi kepada pemerintahnya sendiri. Hal ini mengakibatkan hingga saat ini Jepang belum memiliki sistem SIN.
Lalu apa sih dampaknya jika suatu negara yang memiliki sistem yang sudah cukup teratur, tapi tidak memiliki sistem SIN? Jawabannya bisa adalah ketika pemeriksaan identitas individu. Hingga saat ini, tidak ada standar yang baku dalam mengidentifikasi suatu individu. Setiap melakukan klarifikasi, berbagai instansi pemerintah maupun swasta akhirnya bergantung pada nomor asuransi kesehatan, nomor SIM, atau nomor paspor. Padahal, ketiga nomor ini tidak selalu bisa diandalkan. Kartu asuransi misalnya, akan berganti sesuai kota kita tinggal. Sedangkan mengenai SIM dan paspor, tidak semua orang memilikinya.
Dampak lainnya adalah tidak terintegrasinya data antara instansi-instansi pemerintah. Hal ini sangat terasa ketika akan mengurus catatan keuangan. Bagi mahasiswa di Jepang, kita diminta untuk melaporkan setiap penghasilan yang kita dapat dari kerja paruh, lalu dari situ kita bisa meminta pengembalian pajak penghasilan yang sudah terlanjur diambil oleh negara. Tapi, dana itu bisa kita terima jika dan hanya jika kita melakukan pelaporan ke petugas pencatat pajak. Contoh lain yang lebih besar permasalahannya adalah hilangnya catatan dana pensiun beberapa masyarakat Jepang. Menurut laporan pemerintah Jepang, ada sekitar 50 juta catatan yang diduga terjadi kesalahan. Nama yang tidak cocok, catatan alamat yang salah, tanggal lahir yang berbeda, adalah beberapa hal yang menjadi masalah utama. Dari 2 permasalahn ini, bisa disimpukan tidak ada integrasi data antara catatan yang satu dengan catatan yang lain. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya jumlah sistem pencatatan di suatu negara, sebetulnya sistem SIN ini mau tidak mau akan dibutuhkan.
Di Indonesia, hal-hal seperti ini malah sudah dan sedang terjadi. Tidak sedikit saya mendengar celotehan rekanan di Indonesia yang bercerita kalau dia memiliki beberapa KTP. KTP pertama dibuat karena baru 17 tahun. Yang kedua dibuat karena harus melanjutkan studi ke luar kota. Yang ketiga, karena sempat tinggal di daerah lain, dan ditawarkan oleh petugas catatan sipil setempat. Justru ini menjadi celah yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan pencucian uang, menghindari pajak, dan sebagainya.
Jepang sendiri baru mulai kembali merencanakan sistem SIN-nya dengan nama "My Number" sejak awal 2012. RUU-nya sendiri baru disetujui oleh syu-gi-in (The House of Representative di Jepang) per 9 Mei 2013. Selanjutnya RUU ini akan dibawa ke san-gi-in (The House of Councillors di Jepang) untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut. Apabila ini disahkan, rencananya sistem "My Number" ini akan mulai diberlakukan per 1 Januari 2016. Perusahaan IT di Jepang pun seharusnya sudah mulai untuk ancang-ancang dengan berbagai sistem rancangan mereka untuk menyambut keputusan final dari san-gi-in. Karena, jika ini berhasil, dana proyek yang dikucurkan pasti besar. Kalau tidak ada masalah dalam sistem yang mereka bangun, bisa dijamin, perusahaan yang bergabung dalam proyek ini bisa bertahan untuk selamanya, atau minimal sampai undang-undang ini dihapuskan.
Bagaimana dengan Indonesia? Dengan disahkannya undang-undang mengenai sistem NIK sejak 2006, Indonesia sudah jauh melangkah dibanding Jepang. Teknologi yang dipakai pun sudah menggunakan tenaga ahli dari putra-putri bangsa. Kabar terakhir dari milis PPI Jepang (Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang), BPPT turun langsung dalam pengembangan teknologi yang ada.
Kita sebagai pihak yang berada di luar, sudah seharusnya memberikan dukungan penuh terhadap kelangsungan proyek e-KTP ini. Bukan tidak mungkin, teknologi yang sudah dan terus dikembangkan oleh BPPT untuk program e-KTP ini, bisa disebar ke Jepang atau negara-negara lain yang belum memiliki sistem SIN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H