Lihat ke Halaman Asli

Renytha Miroatuz Solehah

Mahasiswa tahun kedua Kriminologi UI

Analisis Film Exploiting The Poor - Sex Slavery in Europe Menggunakan Radical Feminism Theory

Diperbarui: 12 Maret 2023   12:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada kali ini saya akan membawakan sebuah film dokumenter yang berasal dari Jerman dengan judul "Exploiting the Poor - Sex Slavery in Europe".  Di permulaan video, kita akan mendapati dua orang perempuan bernama Sascha dan Eli yang merupakan korban sex slavery dari Bulgaria. Sascha mengaku saat wawancara bahwa awalnya ia dijanjikan untuk dinikahi mantan pacarnya dan pindah ke Jerman untuk mendapat kehidupan yang lebih baik . Namun, ketika sampai di sana, ia justru dipaksa untuk menjadi budak seks, bahkan sampai diancam dibunuh. Pacarnya juga mengancam akan memberitahu keluarga Sascha bahwa anaknya telah dijualbelikan. Alhasil perempuan tersebut harus mengiyakannya dengan terpaksa. "Boyfriend method" ini ternyata sering digunakan oleh para sex traffickers. Sekali mereka dapat mengendalikan perempuan, mereka akan memaksanya untuk tunduk. 

Pada awalnya, mucikari tersebut menjanjikan empat euro tiap klien. Namun ternyata ia hanya mendapat 200-300 euro perbulan dengan total 15-20 klien per hari. Tujuan awal yang ingin melarikan dari kemiskinan, mereka justru terjerembab ke perdagangan seks, terutama perempuan dari Bulgaria. Kejamnya lagi, kejahatan ini tidak terdeteksi karena pekerja seks merupakan pekerjaan legal di Jerman. Hukum negara tersebut mendefinisikan pekerja seks sebagai voluntary service. Diperkirakan 90% dari pekerja seks di Jerman dipaksa dan diperdagangkan. Akhirnya mereka dapat lepas dari belenggu mucikari dengan bantuan Julia Wege dari "Amalie", layanan konsultasi khusus perempuan pekerja seks yang berlokasi di Mannheim, Jerman yang menyediakan akomodasi dan pekerjaan untuk membangun hidup baru. 

Covid-19 menyebabkan bisnis prostitusi di Jerman semakin menurun. Banyak hotel yang dipaksa tutup dan kota tersebut semakin sepi tiap harinya. Mucikari pun akhirnya mengembalikan mereka ke kampung halaman mereka untuk dijual, khususnya ke Romania. Walaupun harganya lebih murah daripada di Jerman, tetapi Covid-19 tidak terlalu berdampak pada bisnis ini. Salah satu pekerja seks di Romania, Mirela, mengaku bahwa ia sudah mencoba mencari pekerjaan lain, tetapi ia tidak berhasil. Alhasil ia tetap bekerja di jalanan untuk membayar sewa, kebutuhan, makanan, dan lain-lain. Salah satu mantan pekerja seks dari Romania, Liliana, mengaku bahwa ia dibawa mucikari saat usianya belum genap 14 tahun. Untungnya ia dibebaskan oleh polisi dan tinggal di "Generatie Tanara", sebuah tempat perlindungan yang membebaskannya dari sex slavery. 

DW Documentary memotret perjalanan hidup mereka dengan apik. Seakan sebagai penonton kita dapat merasakan bagaimana sulitnya untuk keluar dari lingkaran pemikiran dan trauma akibat eksploitasi tersebut. Untungnya, masih banyak perempuan lain yang peduli dan berani untuk membebaskan dan menyuarakan keresahan mereka.

Analisis Kasus:

Manusia merupakan komoditas yang menguntungkan bagi kejahatan terorganisir seperti trafficking. Dibandingkan dengan obat-obatan atau senjata yang berharga murah, mereka dapat dijual tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, setiap harinya. Wanita muda yang berusaha keluar dari kemiskinan di negara asal mereka berakhir di rumah bordil Jerman. Pedagang manusia yang tidak bermoral memikat mereka dengan janji pekerjaan bergaji tinggi hanya untuk memaksa mereka menjadi budak seks. Beberapa dari mereka bahkan menjual jasa mereka dengan harga sebungkus rokok. 

Untuk menganalisis kasus ini, kita perlu memahami satu konsep krusial yakni patriarki. Menurut Alfian Rokhmansyah (2013) di bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, patriarki berarti sistem yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa sentral dan utama. Keberlangsungan budaya patriarki menyebabkan adanya ketidakadilan gender dalam segala aspek kehidupan. Laki-laki dianggap sebagai pemegang kontrol utama dan perempuan diletakkan di posisi subordinat. Pembatasan peran ini membuat perempuan tidak mempunyai kendali dalam hidupnya. Seperti pada film di atas, Sascha dipaksa oleh pacarnya untuk menjadi sex slave walaupun perempuan tersebut telah bersikeras dan menangis dalam menolaknya. Namun, tetap saja laki-laki tersebut punya tidak mengindahkan permintaannya karena perasaan "lebih tinggi" nya tersebut (Sakina A.I, 2017, hlm 72) 

Bisnis perbudakan seksual erat kaitannya dengan budaya patriarki. Perempuan dianggap sebagai objek pemuas nafsu lelaki yang dapat digunakan sekehendaknya. Laki-laki berani mengobjektifikasi perempuan sebab mereka menganggap perempuan sebagai makhluk yang lemah serta keinginan laki-laki (yang terkonstruksi) untuk menjadi dominan (macho) (Siegel, L.J., 2015, hlm 257). Seakan meniduri banyak perempuan merupakan achievement besar demi dipandang sebagai lelaki tulen. Perempuan dianggap barang yang dapat dipakai sewenang-wenang tanpa mempedulikan otoritas tubuh perempuan itu sendiri. 

Radical Feminism berargumen bahwa kekerasan (atau ancaman kekerasan) adalah cara laki-laki untuk mengontrol, mendominasi dan melanggengkan subordinasi perempuan. Kekerasan bukan sekadar fenomena individu yang tidak berbahaya dari satu orang terhadap satu perempuan, tetapi masalah kolektif yang didorong oleh patriarki masyarakat. Penyebab utama dominasi perempuan oleh laki-laki bukan karena kurangnya dukungan sipil dan politik, seperti yang dipikirkan feminis liberal, atau karena sistem ekonomi kapitalis, seperti yang feminis Marxis dikonseptualisasikan, tetapi karena patriarki. Feminis radikal bersikeras bahwa penindasan perempuan bersifat sistemik: sistem penindasan yang ditemukan di semua masyarakat. 

Terlihat dari fenomena di atas, sex trades merupakan kejahatan kolektif yang terencana dan melibatkan banyak perempuan di bawah umur. Anak yang seharusnya terlindungi dan menikmati masa kecilnya sudah dihadapkan dengan jurang kegelapan kebejatan patriarki. Radical Feminism mempunyai jawaban mengapa hanya perempuan yang "dijualbelikan" sedangkan laki-laki tidak. Hal tersebut sebab sex slavery terbentuk dari budaya patriarki yang meletakkan status perempuan di bawah laki-laki . Jika perempuan terkonstruksi setara dengan laki-laki, tentu pengeksploitasian perempuan akan cenderung rendah. Hal ini tercermin dalam cross-national study pada tahun 2004 di mana, jumlah viktimisasi perempuan akan menurun jika status perempuan umumnya tinggi. 

Namun, terdapat keterbatasan dari teori ini. Yang pertama, Radical Feminism kurang inklusif (jika dibandingkan aliran yang lainnya) karena radikalitasnya. Contohnya seperti Liberal Feminism yang masih sejalan dengan nilai-nilai dominan masyarakat. Keterbatasan selanjutnya, pandangan ini terlalu menggeneralisasi perempuan sebagai grup homogen yang sama2 di-oppress laki-laki tanpa tanpa memperhitungkan perbedaan pengalaman penindasan yang dialami oleh perempuan penyandang disabilitas, perempuan di penjara, atau perempuan imigran. Lalu keterbatasan terakhir, paradoks Radical Feminism. Banyak dari korban prostitusi menderita dan merasa tertindas. Namun, ada sebagian besar yang justru memanfaatkan objektifikasi tersebut dengan dalih "My body is my choice". Keberadaan patriarki malah disenangi oleh beberapa perempuan yang mengambil keuntungan dari kerugian tersebut. Kembali lagi, semua yang terjadi memang sudah membudaya sejak dahulu. Sulit untuk mengubah keseluruhan dan merestrukturisasi budaya yang telah mengakar ini. Untungnya, sedikit demi sedikit aktivis perempuan menyuarakan keresahan-keresahan ini 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline