Kereta api menjadi tulang punggung transportasi Indonesia sejak era pemerintahan kolonial Belanda hingga saat ini. Peralihan kekuasaan,Perang Dunia dan krisis keuangan dunia pada era 1914-1945 menyebabkan keuangan perusahaan perkeretaapian Hindia Belanda saat itu morat marit sehingga tidak dapat membeli dan memperbaharui sarana kereta api. Hal tersebut menyebabkan penundaan modernisasi hingga akhirnya modernisasi dapat dilaksanakan pada tahun 1950 oleh Djawatan Kereta Api.
Pembuatan jalur kereta api perdana oleh Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S.) pada tahun 1864 dari Semarang menuju Solo dan Jogja menjadi awal hadirnya kereta api di Indonesia. Namun,N.I.S merupakan perusahaan swasta yang diberi mandat oleh pemerintah kolonial untuk membangun jalur kereta api di Indonesia.
Pada tanggal 6 April 1925, 50 tahun lamanya, pemerintah kolonial Belanda akhirnya membuat perusahaan kereta api negara yaitu Staatsspoorwegen dan membangun jalur dari Surabaya menuju Malang dan Pasuruan. Pembangunan jalur terus berlanjut hingga akhirnya panjang jalur kereta api di Hindia Belanda mencapai lebih dari 6.000 kilometer bila dijumlahkan dengan perusahaan-perusahaan seperti Deli Spoorweg Maatschappij, Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij dan perushaan tram dan kereta api swasta lainnya di Indonesia.
Pada akhir tahun perang dunia pertama, sarana kereta api terbagi atas 477 lokomotif, 2.147 kereta penumpang dan 10.225 gerobak (gerbong barang). Pada permulaan perang dunia dua, sarana kereta api milik Staatsspoorwegen terbagi atas 761 lokomotif, 2.277 kereta penumpang dan 20.471 gerobak (gerbong barang).
Sarana kereta api ini didominasi oleh pembelian dari negara-negara di Eropa. Hingga pada tahun 1919, Staatsspoorwegen membeli 20 lokomotif tipe 1D+D yang mempunyai delapan gandar adhesi dari Amerika Serikat akibat pecahnya perang dunia pertama. Setelah perang dunia usai, pembelian lokomotif dialihkan kembali ke eropa yaitu dari Belanda dan Swiss. Sebanyak 30 buah lokomotif tipe mallet atau 1C+C dibeli pada tahun 1928.