Apa yang ada di pikiranmu ketika mendengar green building atau bangunan hijau? Asosiasi bangunan hijau sebagai bangunan sehat, ramah lingkungan, dan hemat energi adalah beberapa jawaban yang kerap muncul. Namun, hal yang lebih penting untuk dipahami, yang menjadi akar dari poin-poin di atas, adalah konsep dari green itu sendiri, yakni keberlanjutan atau sustainability.
Konsep Bangunan Hijau
Kita sudah cukup familiar dengan istilah pemanasan global, climate change, dan sebagainya. Istilah-istilah ini digunakan untuk menggambarkan fenomena yang berakumulasi dan kemudian melahirkan perubahan-perubahanyang cukup signifikan. Green House Gases (GHG) yang dalam hal ini menjadi kambing hitam pun sebenarnya diakibatkan oleh konsumsi manusia dari sistem-sistem pembakaran maupun refrigerasi yang digunakan sehari-hari. Pertumbuhanpopulasi, perkembangan pembangunan, dan gaya hidup manusia yang menyertainya menuntut Bumi “bekerja lebih keras”.
Perkembangan pembangunan ini dapat ditinjau salah satunya dengan memantau ecological footprint rate. Saat ini, kita—tentu saja– memiliki satu buah Bumi. Namun, laju aktivitas manusia dalam memberdayakan Bumi telah melebihi kapasitas Bumi tersebut tumbuh, yakni 1,4 Bumi di tahun 2011. Negara yang memiliki ecological footprint rate tertinggi adalah United States, dengan rate aktivitas manusia yang membutuhkan hingga 5 Bumi.
Parameter lain untuk memahami dampak perkembangan manusia dan pembangunan adalah dari urban age rate, yakni persentase yang menunjukkan jumlah manusia yang menempati daerah urban (perkotaan) tertentu. Di Indonesia, angka urban age pada tahun 1990 masih berada pada angka 10%, yang kemudian meningkat hingga angka 50% di tahun 2008, dan diprediksi akan mencapai angka 75% pada tahun 2050. Angka ini bukan hanya menunjukkan akibat perpindahan manusia dari desa ke kota, namun juga akibat perubahan karakteristik desa yang bertransformasi sehingga memiliki karakter-karakter kota.
Tidak mungkin bagi kita untuk memiliki wilayah dengan fungsi yang tidak seimbang. Kita tahu bahwa karakteristik desa maupun kota adalah sesuai dengan fungsinya. Maka, apabila ketidakseimbangan ini kian memuncak, akan ada fungsi desa yang lenyap, begitupun dampak dari kehidupan perkotaan yang berlebih. Konsep berpikir jangka panjang mengenai fenomena-fenomena yang berakumulasi inilah yang menjadi dasar konsep green, yakni keberlanjutan atau sustainability.
Jadi mari kita luruskan pemahaman yang diversif mengenai green. Ketika kamu mendengar kata green, yang terbayang kini mestinya adalah suatu keberlanjutan atau sustainability dari obyek tersebut, baik terhadap objek itu sendiri maupun terhadap lingkungannya. Manusia sudah selayaknya sadar bahwa kita harus meninggalkan Bumi dalam keadaan layak huni untuk keturunan kita. Sehingga satu-satunya cara untuk melakukannya adalah dengan menjaga Bumi dari kemampuannya untuk terus hidup, tumbuh, serta mencukupi kebutuhan dan perkembangan generasi-generasi saat ini dan mendatang (sustainable).
Sertifikasi Bangunan Hijau
Memahami konsep yang menjadi dasar pemikiran maupun perilaku green adalah penting, untuk menghilangkan paradoks maupun multitafsir mengenai aktivitas-aktivitas yang berembel-embel green. Oleh karenanya, 77 negara di dunia kini telah memiliki Konsil Bangunan Hijau-nya masing-masing. Sebagai contoh di Indonesia konsil itu bernama Green Building Council Indonesia (GCBI) yang berfungsi sebagai badan yang berhak mengeluarkan sertifikasi bangunan hijau sesuai rating tools yang telah disusun a la Indonesia.
Tiap-tiap negara memiliki rating tools yang berbeda-beda dengan nama yang berbeda-beda pula. Di Indonesia, rating tools itu bernama Greenship, bernama LEED di United States, bernama Green Mark di Singapura, bernama BREEAM di United Kingdom, bernama CASBEE di Jepang, dan sebagainya. Meski standar-standar teknisnya kebanyakan mengacu pada standar nasional di negara itu sendiri ataupun standar internasional seperti ASHRAE, ANSI, atau IESNA. Konsil-konsil ini tergabung dalam World Green Building Council untuk terus mengembangkan penelitian, juga membumikan konsep green building. Masing-masing negara hanya diperbolehkan memiliki satu konsil bangunan hijau ini.
Sertifikasi dilakukan berdasarkan jenis bangunan, ada bangunan baru, bangunan eksisting, ruang interior, data centre, exhibition hall, dan sebagainya. Adapun sertifikasi ini dapat diraih dalam level-level yang berbeda dan bertahan dalam jangka waktu tiga tahun untuk Greenship. Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa bangunan yang telah disertifikasi sebagai bangunan hijau, baik dalam tahap design recognition maupun final assessment, antara lain: Menara BCA, PT Dahana, Gedung Menteri Kementerian PU, dan Rasuna Tower.
Implementasi Bangunan Hijau di Indonesia
Kini dan nanti, tren bangunan hijau masih dan diprediksi akan terus meningkat. Berbagai developer maupun pemilik gedung melakukan sertifikasi dengan tujuan efisiensi energi dan air, meningkatkan kualitas kesehatan dan kenyamanan, hingga pemasaran bangunan. Kesadaran tentang kesehatan bangunan mestinya menjadi perhatian karena manusia menghabiskan sebagian besar waktu yang mereka miliki dalam bangunan. Mau tidak mau, kampanye maupun regulasi untuk meningkatkan kesadaran ini sangat dibutuhkan dalam menyosialisasikan dan menaikkan demand bangunan hijau.
Pengeluaran awal (capital expenditure)bangunan hijau memang lebih tinggi ketimbang bangunan pada umumnya, namun memiliki pengeluaran operasional (operational expenditure) yang relatif amat rendah. Hal ini yang masih menjadi pertimbangan pemilik bangunan dalam melakukan sertifikasi. Belum lagi biaya sertifikasi itu sendiri yang tidak murah. Rata-rata waktu Return on Investment (RoI) yang dibutuhkan untuk menyamai bangunan biasa adalah 8,5 tahun. Oleh karenanya, investasi ini mesti dihitung dengan benar dan disertai strategi implementasi yang smart agar berjalan efektif dan efisien. Di sinilah peran utama green team dalam menjalankan proyek bangunan hijau.
RoIselama 8,5 tahun ini tidak terjadi di negara-negara lain yang mematok harga listrik tidak serendah Indonesia. Salah satu belanja operasional bangunan terbesar adalah energi listrik. Jika harga listrik masih murah, maka hal ini dapat menjadi suatu hambatan bagi implementasi bangunan hijau ataupun energi terbarukan seperti yang terjadi kini. Sebagai informasi, harga listrik yang dibebankan pada pelanggan PLN adalah Rp 1000/kWh. Padahal PLN membutuhkan biaya sekitar Rp 1200/kWh untuk menghasilkan listrik di pulau Jawa-Sumatera, dan Rp 2200-2300/kWh di luar kedua pulau tersebut.
Kesimpulan
Konsep green telah akrab dengan masyarakat dan bangunan hijau sendiri akan berkembang seiring waktu serta diprediksi akan menjamur di masa mendatang. Kesadaran akan bangunan hijau meningkatkan permintaan (demand) masyarakat pada developer maupun penggiat bangunan hijau untuk terus mengembangkan bidang ini. Dengan pembangunan yang kian meningkat, pemerintah mesti menunjukkan dukungannya dalam bentuk regulasi, baik berupa reward maupun punishment yang tegas. Perpaduan antara implementasi dan penjagaan pembangunan dalam koridor sustainability ini akan melahirkan kenyamanan dan kebaikan bagi masyarakat. Sehingga pada gilirannya, akan tercipta suatu lingkup manfaat yang makin lama makin besar. Keberadaan green building akan meluas menjadi green district, green city, bahkan green nation, dan secara menyeluruh menciptakan green atau sustainable living; menjaga Bumi agar layak huni bagi anak-cucu kita kelak.
“We do not inherit the earth from our ancestor. And we do not buy it from our parents. But we borrow it from our children.” – Antoine de Saint-Exupery
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H