Lihat ke Halaman Asli

Randy Mahendra

Warga Biasa

Cerpen | Dikutuk Sumpahi Eros

Diperbarui: 23 November 2018   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari aku menerima pesan singkat dari pacarku. Isinya permintaan agar aku segera melamarnya.

Pesan singkat itu seperti pukulan keras menghantam kepalaku. Melamar bukanlah perkara mudah. Beberapa syarat harus terpenuhi. Misalnya punya kerja tetap lebih dahulu sehingga calon mertua percaya bahwa kelak anaknya hidup layak.

Itulah masalahnya, aku belum punya pekerjaan. Padahal sudah kesana-kemari mencari kerja. Mengirimkan surat lamaran kerja ke perusahaan atau posting di situs internet. Menunggu berbulan-bulan lamanya tapi tetap tidak ada hasil. Aku pernah ke pabrik dan menemui orang dalam agar aku bisa diterima menjadi buruh. Malah uangku lenyap ditilap orang dalam. Dia menipuku.

Akhirnya aku cuma menjadi layang-layang di ibu kota. Sebetulnya aku produk asli orang desa. Tapi karena suatu keberuntungan aku bisa kuliah di kota besar. Tujuh tahun lamanya kuhabiskan waktu di bangku kuliah.

Tujuh tahun kuliah justru membuatku kikuk ketika di desa.  Aku ingin menanam bawang, wortel, atau kentang, seperti leluhurku. Tapi aku lupa caranya bertani. Dan orang yang tidak tahu caranya bertani lebih baik tidak  bertani.

Aku terus memikirkan nasib burukku. Aku merasa diriku terbuang dari dunia ini. Menjadi layang-layang di ibu kota,  dan ketika ingin pulang ke desa aku merasa asing dan sepi [1]. Aku merasa tidak punya tempat lagi. Kota dan desa menjadi asing bagiku.

Malam hari sering memikirkan nasib buruk, hal itu bikin aku tak bisa tidur. Biasanya buat menghibur diri aku keluar dan menghabiskan malam di warung kopi dekat kos. Warung itu hanya ditutup dengan terpal dan angin leluasa masuk membawa bau bacin dari selokan. Maklum, warung itu bertempat di daerah yang padat penduduk. Sebagian yang tinggal di daerah itu buruh pabrik dan karyawan mal.  Sebagian yang lain mahasiswa.

Di warung itu aku sering berdiskusi dengan temanku yang menggemari W.S Rendra. Dulu dia pernah bercita-cita jadi petani. Dan kalau sudah bicara soal cita-citanya, dia sering membacakan  Sajak Seonggok Jagung dengan suara keras mengalahkan suara penyanyi dangdut di TV warung itu: "Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda yang kurang sekolahan memandang jagung itu... [2]"

"Ini bukan panggung, Bung!"

Temanku bersikap masa bodoh. Waktu itu kami sudah semester akhir. Rasanya malas untuk menyelesaikan skripsi. Tapi suatu hari ketika dia dapat telepon dari orangtuanya tiba-tiba dia jadi semangat menyelesaikan skripsi. Cuma butuh beberapa minggu skripsinya selesai. Dan entah bagaimana dia melupakan mimpinya jadi petani. Kini kabarnya dia meneruskan usaha bapaknya.

Sejak ditinggalkan temanku, aku selalu sendirian di warung itu. Tanpa teman diskusi. Tanpa teman minum kopi.  Malam jadi sepi dan sunyi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline