Catatan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh gencarnya pemberitaan media yang belakangan ini mengemuka. Berbagai manuver politik dilakukan oleh elit nasional menyongsong Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019. Memang demikianlah faktanya, dinamika kehidupan perpolitikan tanah air perlu 'dihidupkan' melalui berbagai cara, termasuk pembelajaran bagaimana berkomunikasi dan membangun komitmen politik.
Tentu, cara-cara yang digunakan para elit politik memiliki style yang tidak sama. Sesungguhnya itulah 'seni' nya politik. Demikian beberapa kalangan menyebutnya, termasuk penulis.
Adakalanya sikap politik juga diartikan sebagai sikap yang "abu-abu" (tidak jelas). Namun bagi penulis tidak. Sikap politik lebih dilandasi pada sikap batin untuk menentukan arah dan tujuan ke depan. Bukan semata-mata bergantung pada ketidakjelasan.
Bila kini publik secara umum dapat menyaksikan langsung proses politik tersebut lantaran media gencar memberitakan, penulis justru membayangkan bagaimana proses politik yang diambil oleh para pendahulu? Demikian pula kah kondisinya? Hal yang pasti dapat ditelaah adalah cerita-cerita politik Nusantara yang kini diwariskan. Sebenarnya ada pelajaran berharga jika kita mau lebih dalam memberikan makna dari apa yang telah dilakukan pendahulu kita.
Salah satu cerita yang 'masyhur' pernah terjadi adalah bagaimana seorang "Petruk" bisa menjadi "Ratu". Petruk yang digambarkan sebagai "Punakawan", bukan ber trah bangsawan, namun dapat menguasai "keprabon" sebagai Ratu. Terlepas kebenaran dari cerita tersebut, penulis memandang ada hal penting yang digambarkan.
Pertama, dari sisi masanya, era kerajaan yang menganut sistem dinasti mengutamakan garis keturunan sebagai parameter menduduki jabatan publik. Apalagi pada posisi Ratu. Dengan kata lain, tidak sembarang orang dapat menjadi Ratu. Hanya mereka yang memiliki "trah" lah yang dapat menduduki jabatan publik tersebut.
Bagamaina dengan Petruk? Fenomena Petruk yang bukan trah bangsawan namun dapat menjadi Ratu menurut penulis ada nilai transisi sistem dinasti. Meski tidak lama, namun cukup menjadi catatan (kala itu), bahwa bukan trah bangsawan pernah menjadi Ratu.
Kedua, dari alur cerita yang digambarkan, Petruk menjadi Ratu karena memegang "Jimat Kalimosodo". 'Ageman' yang bukan sembarang orang memiliki. Pusaka yang diyakini mampu menaklukkan seantero negeri.
Terbukti, berbekal Jimat Kalimosodo itulah yang turut mengantarkan Petruk menjadi Ratu. Pada beberapa cerita, Jimat Kalimosodo dikiaskan berbentuk barang dan bisa dibawa kemana-mana. Namun menurut penulis Jimat Kalimosodo dalam cerita itu lebih mengarah pada "Ilmu Yakin".
Kalimosodo merupakan terminologi bahasa Jawa, yang jika diurai merupakan "Kalimat Syahadat". Secara etimologis, Syahadat berasal dari kata bahasa Arab yaitu syahida () yang artinya "ia telah menyaksikan". Kalimat itu dalam syariat Islam adalah sebuah pernyataan kepercayaan sekaligus pengakuan akan keesaan Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rosul Allah.
Dalam tataran ini, ada dua persaksian, yakni menyaksikan bahwa "Tiada Tuhan Selain Allah" dan persaksian bahwa Nabi "Muhammad adalah Utusan Allah". Maka dikenal pula sebagai Syahadatain (dua kalimah Syahadat) yaitu "Syahadat Tauhid" dan "Syahadat Rosul".