Lihat ke Halaman Asli

Relasi Timpang Manusia, Hutan dan Tuhan

Diperbarui: 18 Oktober 2018   16:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pribadi

Tulisan ini sebenarnya lebih banyak dilatarbelakangi dari aspek geografis penulis. Hidup di pedesaan, berada di atas pegunungan dan di tengah hutan. Kehidupan seperti itu telah berjalan puluhan tahun lamanya. Bahkan ketika pertama kali menghirup oksigen pun, bergantung pada hasil produksi hutan.

Demikian berharganya hutan dalam kehidupan penulis, mungkin juga manusia pada umumnya. Bahkan sempat berandai, adakah mata pelajaran komunikasi dengan hutan? Sepertinya selama ini hanya diam. Benarkah?

Bukankah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi senantiasa bertasbih kepada Tuhan? Tidakkah itu pun bentuk komunikasi? Makhluk dengan Sang Khaliq.

Sebaliknya, apakah selama ini hutan juga memahami apa yang dikomunikasikan oleh manusia, bagaimana sikap manusia dan perlakuan apa yang diperbuat manusia pada hutan? Wallahu A'lam. Sejauh yang diketahui manusia, meski tidak berkomunikasi secara langsung pun, hutan tetap berkirim pesan.

Berkali-kali manusia diingatkan. Kebakaran hutan, gunung meletus, tanah longsor, banjir bandang, dan sebagainya bukankah juga berhulu di hutan? Mungkinkah itu bentuk 'sentuhan mesra' hutan pada segenap insan yang acuh padanya? Semoga tidak lebih dari itu. Meski semuanya bergantung pada kehendak Allah, Pemilik alam semesta. Namun di antara peristiwa-peristiwa itu pasti tersirat pesan.

Kiranya tidaklah etis, menyebut 'sentuhan mesra' hutan dengan anggapan 'bencana'. Apalagi sedikit nada kasar yang justru mendiskreditkan alam sebagai penyebab bencana. 

Menyalahkan alam yang kita pun tak paham bahasanya, bahwa bencana datang alamiah, karena alam pada konfigurasinya pada masa meluapkan sikap yang (merugikan) kehidupan manusia. Begitukah sikap ksatria? Tidakkah kala kecil selalu kita diajarkan untuk saling hormat, menghargai atas segala apa yang diperbuat pihak lain kepada kita? Tidakkah hutan juga telah berbaik sangka pada kita?

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia.

Mengapa Allah dalam Firman Nya tegas menyebutkan manusia? Tidak binatang, tumbuhan atau makhluk lain selain manusia. Sedikit refleksi, sesungguhnya akal budi yang telah Allah berikan kepada manusia sepatutnya didayagunakan dalam hal demikian.

Dewasa ini, 'parodi' pengeroyokan hutan nyata-nyata dipertontonkan kepada segenap manusia. Lebih tepat khalayak ramai bangsa Indonesia. Pepohonan yang saat penulis kecil tak sedikit menjumpai dengan ukuran raksasa, kini pun menjadi barang langka yang mahal harganya. Hutan hanya dinilai komoditas, tidak diposisikan sebagai entitas yang sama-sama memiliki jati diri sebagai sesama makhluk Tuhan.

Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline