“Membicarakan Afi seperti tidak ada habisnya,” begitulah pikir saya, ketika setiap kali menengok Beranda akun Facebook saya. Saya memerhatikan, paling tidak ada tiga akun teman yang dalam statusnya membahas Afi. Akun-akun itu milik mereka dari berbagai latar belakang, umumnya mereka-mereka yang melabeli diri mereka sebagai penulis.
Kebanyakan menyinggung tindakan Afi pada salah satu status viralnya yang ternyata autentik dengan tulisan seseorang bernama Mita. Pelabelan terus menerus ditujukan, sumpah serapah pun juga demikian. Dan mereka dengan bangga menyebut tindakannya sebagai kebebasan berpendepat. Ya memang tentu itu hak, tapi apakah itu elok?
Dengan membicarakan keburukan orang lain dengan kata-kata tidak pantas dan dilakukan secara berulang-ulang, apakah itu sebuah tindakan yang tepat? Agaknya hal ini juga seharusnya dijadikan bahan renungan.
Kita tahu, tindakan plagiat merupakan dindakan tidak terpuji. Saya sepakat. Lantas, jika kita menyikapi dengan berlebihan? Ayolah, saya tahu kalian penulis, saya tahu kalian menulis itu pun pasti sebelumnya menengok ke laman status yang pada akhirnya menyerang balik Afi itu. Apakah kurang dengan komentar-komentar miring yang sudah ada di sana? Apakah belum cukup hukuman sosial untuknya? Apa perlu menengok semua borok yang mungkin dilakukan seperti halnya dirimu—yang juga manusia?
Mari sikapi dengan kepala dingin. Sekali lagi, saya sepakat dengan pendapat kawan-kawan semua mengenai plagiasi. Sekali lagi, itu tidakan tidak terpuji, SAYA SEPAKAT. Hanya saja, mau sampai kapan kita perlu menghukum remaja yang semangat untuk menyerukan pluralisme? Apa tidak bisa kita sedikit saja kembali kepada semangatnya? Apa tidak bisa sedikit saja kita menaruh empati?
Kemudian tentang beasiswa misalnya, apa tidak bisa sedikit saja kita berpikir positif—bahwa itu merupakan pemberian dari Tuhan yang pasti dia pertanggungjawabkan? Bukankah sekarang juga harusnya giliran kita sekalian untuk terus berusaha, berproses. Agar Tuhan juga tidak hanya memberi ‘kepercayaan’ kepada Afi, bocah yang sama-sama kita cap sebagai plagiator.
Saya tetap meyakini Afi juga anak yang cerdas seperti kita yang sering menghakiminya, dia pasti belajar dari peristiwa ini. Jalannya masih panjang untuk terus berproses. Berproses juga tentang kontinuitas. Jadi, mari beri kesempatan pada Afi, juga Afa, Afu, Afo, Afe yang mungkin lahir setelahnya.
Semalam, ketika menonton ILC, saya tertarik dengan kalimat yang dilontarkan oleh budayawan Sujiwo Tejo. Begini kira-kira dia berbicara, “Tidak ada orang suci, yang ada adalah orang yang sedang ditutupi aibnya oleh Tuhan.”
Salam Hangat
Rizky K.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H