Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Topeng

Diperbarui: 5 Juni 2017   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pict by Freepik.com

“Lu tahu, gua diriin Jendela bukan buat ajang politik. Tapi politisi keparat itu terus aja mepet gua biar namanya bisa nampang. Kalo niat mau bantu, ya bantu ajakan, cukup,” Nadira terlihat meluap-luap menceritakan kekesalannya. Tangannya memutar-mutar sedotan di gelas berisi jus semangka yang sudah tinggal setengah.

Aku melirik Edgar yang sedang sibuk mengetik. “Masalahnya, di mana orang di jaman sekarang apalagi dia politikus yang mau menggratiskan bantuan. Enggak ada!”

“Citra,” sambungku.

Nadira mendengus, menaikkan lengan kemeja kirinya sedikit. “Dikira citra mau dibawa sampe mati, apa?”

“Citra itu penting, Ra. Tujuannya jelas, biar dapat simpati masyarakat. Ujungnya ...,” Edgar berhenti dengan ucapannya. Dia menarik napas sejenak, memindahkan pandangannya dari layar laptop ke Nadira. “Bertahan lama di pemerintahan. Trik basi,” katanya kemudian.

Aku memerhatikan keduanya saling tatap, tanpa mau mengomentari lagi apa yang diucapkan Nadira maupun Edgar. Aku hanya menyadari bahwa apa yang menjadi pembicaraan kami mulai mengusik pengunjung lain. Apalagi dengan tutur Nadira yang menggebu-gebu. Kehadira Edgar pun tidak membantu, karena Edgar tipe orang yang provokatif.

“Perlu dicatat, Ra. Kita masih hidup di era manusia yang bertopeng itu jauh lebih banyak dapat simpati dibandingkan mereka yang masang wajah asli,” Edgar kembali bersuara.

***

Kami tengah dalam perjalan menghadiri malam penganugerahan festival film di Serpong sebenarnya. Karena sudah magrib, Nadira memintaku untuk mencari tempat makan. “Mending lo buka puasa dulu, Gi! Gua sama Egar sih enggak puasa,” katanya tadi. Maka di sinilah kami, di Pengayoman—di belakang pom Bensin dekat dengan Tang-City Mall. Di sini Berjejer kios-kios yang menjual aneka kudapan lezat dari mulai nasi goreng sampai sop iga.

Dari yang tadi niatnya hanya mau buka puasa, sekarang aku harus menengarkan curhatan Nadira yang sebenarnya dalam perjalanan tadi pun sudah meletup.

“Silakan, Mas, Mbak,” Pelayan menyajikan masakan pesanan kami. Dua porsi Nasi Ayam Bakar dan es teh untukku dan Edgar, sedangkan pesanan Nadira sudah dari tadi dibawakan. Ya, jus semangka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline