Lihat ke Halaman Asli

Dampak Laten Korupsi terhadap Kondisi Ekonomi Beserta Opsi Solusi; Kasus Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dampak Laten Korupsi Terhadap Kondisi Ekonomi Beserta Opsi Solusi; Kasus Indonesia

Pendahuluan

Korupsi menurut Undang-undang didefinisikan sebagai: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Atau, “Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Secara sederhana penulis bisa simpulkan beberapa poin penting tentang korupsi. 1) Pelakunya adalah perseorangan. 2) Tindakannya melawan hukum. 3) Memberikan keuntungan tidak harus untuk diri pribadinya, tetapi bisa juga untuk perseorangan lain atau sebuah korporasi. 4) Merugikan keuangan atau perekonomian negara. 5) Menyalahgunakan apa-apa yang diamanahkan kepadanya.

Yang penulis ingin angkat di sini adalah dampak-dampak laten dari korupsi, lebih sempitnya adalah yang berkaitan dengan aspek-aspek keekonomian. Dampak manifesnya sendiri sudah terlalu ‘manifes’ sehingga bisa dibaca dan diketahui secara bebas di mana-mana. Adapun dampak latennya, terutama terhadap perekonomian, menurut penulis masih merupakan pembahasan yang sepi. Membahas hal ini lebih jamak dan lebih dalam tentunya adalah kontribusi positif terhadap kampanye pemberantasan dan pencerabutan akar-akar korupsi terutama di Indonesia. Tentunya disertai masukan-masukan positif, baik yang berwujud saran halus ataupun kritik pedas, baik yang menggunakan bahasa educated ataupun yang menggunakan bahasa grass root, baik yang konseptual ataupun yang praktis. Di sini penulis berusaha sekadar menjamakkan pembahasan tentang hal ini, dan menyertai solusi sekenanya.

Sudut Pandang Ekonomi

Korupsi sendiri menurut sudut pandang ekonomi disebut sebagai the misuse of public office for private gain. Sedangkan, beban yang ditanggung pelaku-pelaku ekonomi akibat korupsi disebut high cost economy. Dari istilah pertama di atas, terlihat bahwa potensi korupsi membesar di negara-negara yag menerapkan kontrol pemerintah secara ketat dalam praktek perekonomian, alias memiliki monopoly power yang besar. Karena yang disalahgunakan di sini adalah perangkat-perangkat publik atau pemerintahan dan yang diuntungkan adalah kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi. Hal ini menunjukkan kekeliruan kebanyakan negara-negara berkembang yang latah mencontoh negara-negara kapitalis dalam hal pembukaan keran investasi asing secara longgar, namun dalam prakteknya justru terlalu banyak diatur oleh pemerintah dan bukannya melalui pencerdasan masyarakat terlebih dahulu sehingga bisa mendorong mereka sendirilah yang akan mengembangkan kerjasama dengan pihak asing. Padahal kemampuan dan kredibilitas moral pemerintah mereka sendiri belum cukup baik. Pada akhirnya, muncul high cost economy. Contoh simpelnya adalah birokrasi, di mana aspek ini adalah sumber terbesar dan paling rata persebarannya di seantero negeri terhadap praktek korupsi. Di mana-mana tampak birokrasi menghadang sebagai momok, baik dalam hal administrasi kependudukan ataupun hal-hal yang berkaitan dengan administrasi usaha. Bahkan, sebuah sumber di internet menyebutkan bahwa gelembung biaya birokrasi yang tidak perlu ini menyedot sampai sekitar 20% dari anggaran pelaku usaha-usaha kecil, menurut statistik. Tentunya di sisi lain hal ini sangat menghambat perkembangan UKM-UKM, padahal UKM kita tahu adalah salahsatu tiang penyangga stabilitas ekonomi makro di Indonesia berhubung kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja secara masif.

Hubungan-hubungan Korupsi dan Ekonomi Menurut Ahli

Menurut Mauro (Corruption and Growth, 1995), korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan kesejahteraan. Hal-hal ini merupakan bagian dari inti ekonomi makro, dan kenyataan bahwa korupsi memiliki hubungan langsung dengan hal-hal ini, mendorong pemerintah untuk menanggulangi korupsi, baik secara preventif maupun kuratif. Ada pula pernyataan dari Dieter Frish bahwa meningkatnya korupsi juga meningkatkan biaya barang dan jasa, yang kemudian bisa melonjakkan utang negara. Pada keadaan ini, inefisiensi terjadi. Yaitu ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan namun disertai dengan maraknya praktek korupsi, bukannya memberikan nilai positif misalnya kesemakinteraturan, naumun justru memberikan negative value added bagi perekonomian secara umum. Misalnya, anggaran korporasi-korporasi yang lebih baik diputar dalam siklus ekonomi, justru terbuang untuk birokrasi yang ujung-ujungnya masuk ke kantong pribadi pejabat.

Data Perbandingan Tingkat Korupsi Indonesia

Tabel di bawah adalah pemeringkatan CPI (Corruption Perception Index) yang dilansir oleh TI (Transparency International) tahun 2008. walaupun relative membaik, namun Indonesia masih berada setingkat dengan negara-negarasa semacam Eritrea, Ethiopia, Guyana, Honduras, Libya, Mozambique dan Uganda.

Tahun Peringkat Negara Yang disurvei
2001 88 91
2002 96 102
2003 122 133
2004 137 146
2005 140 159
2006 130 163
2007 143 180
2008 126 180
Kesimpulan dan Solusi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline