Latar Belakang
Pertanyaan inilah yang menjadi sumber perdebatan, yang menjadi trending topic akhir-akhir ini. Pemerintah beralasan bahwa apabila subsidi BBM tidak dikurangi maka APBN akan jebol, karena harga minyak dunia yang merangkak naik sehingga perlu adanya penyesuaian APBN dalam negeri untuk mengantisipasinya. Alasan yang kedua adalah mengenai ketidaktepatan sasaran subsidi BBM pada masyarakat, sehingga didapatkan data ternyata mayoritas subsidi BBM dinikmati oleh mayoritas golongan masyarakat mampu daripada yang tidak mampu.
Dari alasan-alasan tersebut melalui catatan manuskrip ini mencoba akan mengurai beberapa kajian tentang isu rencana kenaikan BBM berdasarkan apa yang telah disebutkan pada paragraph sebelumnya. Penulis sadar akan kapasitas penulis yang bukanlah seorang teknokrat, politisi atau seorang ekonom yang handal, anggap saja tulisan ini hanyalah curahan hati seorang rakyat jelata.
Mengurai Kedaulatan Tata Kelola BBM Nasional
“Tercengan” itulah kata yang terlintas ketika saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh Prof. Amien Rais yang berjudul AGENDA MENDESAK BANGSA, SELAMATKAN INDONESIA!. Beberapa fakta yang saya sampaikan dalam tulisan ini saya kutip langsung dari buku tersebut dan beberapa hal yang menceritakan benang kusut pengelolaan migas nasional. Berangkat dari statemen seorang ekonom nasional dan juga mantan menteri ekonomi Bapak Kwik Kian Gie yang menjelaskan bahwa ternyata angka-angka yang berhubungan dengan minyak dalam APBN cukup membingungkan. Pemasukan minyak setelah dikurangi pos “subsidi” dalam APBN menurut Kwik, tidak pernah minus. Ketika BBM dinaikan pun juga tidak pernah minus. Namun dikatakan pemerintah selalu nombok. Sebagai gambaran mengenai tata kelola BBM Indonesia adalah sebagai berikut. Pengelolaan BBM Indonesia berlaku system kontrak karya (KK) dalam hal ini (migas) berlaku kontrak production sharing (KPS). Bagi sebagian masyarakat awam mengetahui bahwa rasio persentase bagi hasil migas antara pemerintah dan kontraktor operatorship adalah 85%:15%, sepintas memang terlihat menguntungkan bagi pemerintah, tapi mari kita telaah bersama-sama. Kontraktor asing (operator) yang memegang hak atas eksploitasi migas kita, pertama-tama akan menghitung apa yang dimaksud biaya produksi (cost recovery) migas. Cost recovery tersebut kemudian dibayarkan oleh pemerintah kepada kontraktor asing dengan mengambil dana dari APBN. Setelah melalui perhitungan-perhitungan maka didapat bagi hasil (production sharing) kita setelah membayarkan cost recovery adalah sebesar 58,98% untuk pemerintah dan 41,02% diterima oleh kontraktor/operator asing. Harap diingat dalam penyusunan cost recovery ini sangat rawan akan dugaan penggelembungan dana (mark up) yang dilakukan oleh kontraktor asing. Perhitungan cost recovery inilah yang menjdi biang kerugian negara dalam jumlah yang cukup besar. BPK menemukan adanya penyimpangan dalam perhitungan cost recovery. Contohnya, Pertamina EP sebagai kontraktor dalam negeri saja (anak perusahaan Pertamina) membebankan biaya depresiasi sebagai asset recovery nya atas asset PT. Pertamina selama 2004-2008 pada APBN sebesar Rp 21,85 triliun. Analogi sederhana untuk menggambarkan apa itu pembebanan cost recovery yang sangat merugikan negara adalah sebagai berikut:
“Seseorang mempunyai mobil taksi, kemudian dia menyuruh/mengontrak seseorang supir untuk menjalankan mobil taksinya. Disamping sang supir itu telah menerima upah/gajih, plus sepatu, baju seragam dan semua peralatan yang dibutuhkan dari sang pemilik taksi, sang pemilik taksi pun masih harus membayar biaya penyusutan mobil itu taksi per tahunya secara tunai kepada sang supir!”
Uraian-urain diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa system kontrak karya migas kita ternyata sangat merugikan dimana dengan adanya pembebanan cost recovery pada APBN. Satu hal lagi adalah ternyata satu KPS (Kontrak Production Sharing) dengan PT. Pertamina EP saja telah membebani APBN sebesar 20 triliun, apalagi dengan lusinan kontrak karya dan KPS dengan berbagai korporasi asing yang bertindak sebagai operatorship eksploitasi migas di Indonesia.
Strategi perusahaan-perusahaan asing adalah berupaya untuk meyakinkan pemerintah negara berkembang agar mendapat begian sesedikit mungkin, sambil membantu pemerintah negara-negara berkembang itu menemukan berbagai macam alasan-alasan (yang sebenarnya tidak masuk akal, termasuk alasan APBN jebol dan berimbas pada rencana naiknya harga BBM) mengapa memperoleh bagian yang lebih sedikit itu justru lebih baik. Mereka mengatakan bahwa diperlukan keuntungan sosial sehingga banyak kawasan yang harus dibangun. Lewat perolehan pajak dan royalti yang sangat kecil saja pemerintah sudah memetik keuntungan tanpa meyiapkan modal, teknologi dan tenaga ahli untuk menggarap tambang migasnya. Serahkan saja operatorship ke perusahaan asing, pemerintah negara berkembang tahu beres. Paradigma seperti itulah, maka sebagian besar keuntungan kekayaan alam pertambangan diangkut keluar sementara tuan rumah hanya mendapat bagian kecil keuntunganya (pajak dan royalti). Kekayaan alam yang seharusnya dinikmati oleh rakyatnya justru dihibahkan, dishodaqohkan kepada perusahaan-perusahaan asing.
Kemudian mari kita telaah bersama-sama, mari kita telaah perlahan-lahan pemaparan-pemaparan sebelumnya dan mari kita hubungkan dengan konstitusi negara kita yang berdasar Pancasila dan UUD 1945, khususnya pada pasal 33 ayat 2 dan 3 yang berbunyi:
(2). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.
(3). Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 33 ayat 2 dan 3 ini adalah suatu bentuk legitimasi yuridis yang menjelaskan bahwa pemerintahlah yang seharusnya mampu menjadi operatorship atas pengelolaan migas dalam negeri. Hal ini juga didukung oleh pasal 1 ayat 2 pada The International Right Covenant on Civil and Political Right yang berbunyi :
“Semua bangsa untuk mencapai tujuanya memiliki kebebasan untuk memiliki dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam”. Dalam pasal ini juga dikatakan bahwa: “kerjasama internasional harus didasarkan pada prinsip saling menguntungkan dan pada hukum internasional, tidak dibenarkan suatu negara dihilangkan hak hidupnya”.
Studi Kasus: Meninjau Kembali Kontrak Kerjasama Eksplorasi Blok Cepu
(Mari melihat sejarah)
Jangan sekali kali melupakan sejarah, itulah pesan Bung Karno kepada rakyat Indonesia dalam pidatonya. Dalam pemaparan ini mari kita melihat kembali ke belakang tentang bagaimana kita sebagai bangsa ternyata belum percaya diri untuk mengelola potensi kekayaan migasnya dan cenderung lebih suka menawarkan kekayaanya untuk pihak asing. Kasus Blok Cepu dapat dijadikan sebuah pembelajaran bagi kita dan dapat dijadikan sebagai contoh kedaulatan kita yang tergadaikan. Dalam kasus ini Pertamina yang merupakan perusahaan nasional malah tidak diberi hak untuk mengelola potensi migas Blok Cepu. Padahal Ikatan Sarjana Geologi Indonesia dan Pertamina menyatakan pada pemerintah bahwa mereka lebih dari mampu untuk mengelola Blok Cepu. Faktanya adalah, Exxon Mobil lah yang diberikan hak oleh pemerintah untuk mengelola migas Blok Cepu sampai tahun 2036.
Exxon Mobil ingin menjadi operator Blok Cepu selama 30 tahun, tapi terhalang oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 35/2004 tentang tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Banyak pasal yang bisa menghambat kemauan Exxon Mobil (EM), seperti pasal 104 butir (e), (g) dan (h). Namun tanggal 10 September 2005, PP 35/2004 di atas diubah dengan PP 34/2005. Di sini diselipkan Pasal 103A, yang menyebutkan “…dapat dilakukan pengecualian terhadap beberapa ketentuan pokok Kontrak Kerja Sama …” Saya tidak tahu apakah perubahan ini ada kaitannya dengan kunjungan Presiden ke Amerika Serikat beberapa hari kemudian. Tapi yang jelas, dengan kalimat di atas, hilanglah hambatan legal bagi EM untuk menguasai Blok Cepu. Memang dalam PP 34/2005 tersebut ada kalimat “dalam hal adanya kepentingan nasional yang mendesak, dengan tetap mempertimbangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara”. Namun kalimat ini merupakan justifikasi yang mengada-ada, agar pemerintah bisa leluasa mengubah Kontrak Kerja Sama. Blok Cepu memiliki cadangan minyak terbukti yang minimal 600 juta barrel. Sementara cadangan recoverable gas-nya adalah minimal 2 triliun standar kaki kubik (TCF). Dengan asumsi harga minyak mentah (tahun 2006) US$ 55/barrel dan gas US$ 3/mmbtu, Pertamina akan memperoleh tambahan aset senilai minimal US$ 40 milyar jika Blok Cepu diserahkan kepadanya. Di sisi lain, banyak sekali keganjilan dalam proses penyerahan hak operator tersebut. Pertama adalah masalah kepemilikan hak. Pada 3 Agustus 1990 Pertamina dan Humpus Patra Gas (HPG) menandatangani Technical Assistant Contract (TAC) Blok Cepu selama 20 tahun (1990-2010). Kontrak ini sebenarnya tidak boleh dipindahtangankan. Tapi pada 21 Maret 1997, paragraf 1 section V.1.1 dan V.1.2 tentang larangan pengalihan Participating Interest (PI) kepada pihak asing diamandemen.
Perubahan ini membuat HPG dapat menjual hak istimewa yang dimilikinya. Pada 12 Juni 1997, 49% dari hak kepenguasaan HPG sebagai PI dialihkan kepada Ampolex, yang 51% dialihkan kepada Mobil Cepu Ltd pada 11 April 1999. Ini adalah versi Pertamina. Dalam dokumen Kementerian negara BUMN, juga disebutkan versi ExxonMobil, di mana Ampolex memperoleh 49% PI dari HPG pada tahun 1996, dan diakuisisi oleh Mobil tahun itu juga. Jika ini benar, berarti Ampolex memperoleh hak tersebut secara tidak sah, karena amandemen kontrak TAC dibuat Maret 1997. Tapi yang jelas, Inspektorat Pertamina menemukan adanya dugaan KKN dalam proses amandemen kontrak TAC dan pengalihan di atas. Laporan kasusnya pun sudah diserahkan kepada Kejaksaan RI pada 26 Desember 2000. Sayangnya, laporan ini dipeti eskan. Anehnya, berbagai jajaran pemerintah, termasuk Tim Negosiasi yang dibentuk Menteri Negara BUMN 29 Maret 2005, sama sekali tidak mempersoalkan dugaan KKN di atas. Negosiasi dilanjutkan seolah-olah EM sudah menjadi pemilik sah dari hak TAC atas Blok Cepu. Hebatnya lagi, setelah Maret 2006, EM menjadi pemegang hak operator dalam Kontrak Kerja Sama (KKS) bagi hasil dengan Pertamina. Jadi, jika Blok Cepu diumpamakan rumah kos, pemegang TAC ini mirip mahasiswa kos-kosan. Dengan bagi hasil, mahasiswa kos (yang legalitasnya diragukan tadi), sekarang menjadi pemilik rumah kos selama 30 tahun.
Masih banyak keganjilan lain, mulai dari cost recovery, biaya eksploitasi, potensi cadangan sebenarnya, hingga manfaat bagi rakyat. Semuanya sudah pernah diungkapkan ke publik, seperti hilangnya potensi penerimaan Rp 51 triliun dalam 10 tahun. Juga, dari 3 sumur yang ada, bagi hasil riil bagi negara yang mungkin hanya 48-54% jika pajak 44% dihitung dan biaya yang diklaim EM disetujui US$ 343-459 juta. Namun inti argument ini, jauh lebih memberikan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” jika Blok Cepu dikelola Pertamina.
Apa yang Harus Dilakukan?
Dari uraian-uraian yang telah disampaikan telah sampailah kita dalam sebuah kesimpulan dan akan mencoba menjawab tentang apa yang harus kita lakukan sebagai bangsa. Kesimpulan yang pertama yang akan ditarik adalah masalah kenaikan BBM bukanlah permasalahan jebol/tidaknya APBN karena adanya subsidi BBM, namun lebih terletak pada salah urus pemerintah dalam mengelola kekayaan sumber daya migas nya. Soal subsidi, subsidi sebenarnya banyak diterapkan di negara-negara produsen migas dan negara lainya yang bukan produsen migas. Sebagai contoh yang dilakukan Cina, Cina saja memberikan subsidi senilai 25 Miliar US$ kepada kurang lebih 2 miliar rakyatnya. Namun, semakin membaiknya perekonomian negara tirai bambu tersebut sejak 2-3 tahun terakhir mereka mulai memangkas subsidi BBM mereka, langkah ini sejalan dengan meningkatnya daya beli masyarakat dan keseriusan pemerintah dalam mencari alternatif sumber energi lain serta memproteksi sumber daya alamnya dan ekonominya.
Menaikan harga BBM bersubsidi merupakan sebuah “jalan pintas” yang dilakukan oleh pemerintah yang beralasan “menyelamatkan” APBN. Beberapa langkah-langkah yang mungkin mampu dilakukan oleh pemerintah tanpa menaikan harga BBM adalah:
- Melakukan renegosiasi kontrak-kontrak karya production sharing sector-sektor migas yang nyata-nyatanya merugikan negara. Pakar migas Kurtubi menyatakan dengan merenegosiasi kontrak karya sector migas ke dalam perhitungan yang lebih logis dan bagi hasil yang lebih menguntungkan negara, negara mendapatkan tambahan kira-kira 50 triliun rupiah untuk APBN
- Langkah paling ekstrem adalah menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing yang mengelola produksi BBM dan gas, dengan demikian pemerintahlah yang berkuasa penuh atas sumber daya migasnya. Maka keuntungan yang diterima pemerintah haruslah digunakan sebesar-besar demi kemakmuran rakyat yang merupakan amanah konstitusi. Sebagai contoh, pemerintah dapat meniru langkah Hugo Chavez, seorang presiden Venezuela yang dengan beraninya melakukan nasionalisasi besar-besaran industri minyak, gas dan sumber daya mineral lainya yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Venezuela pada tahun 2006 saja mencapai angka 10,6%. Atau dari seorang pemimpin Bolivia yang bernama Evo Morales, berkat nasionalisme dan kecintaanya kepada negaranya, sejak 1 Mei 2006 seluruh industri minyak dan gas nya dinasionalisasikan secara penuh. Berkat langkah radikal ini pendapatan (revenue) Bolivia melonjak 6 kali (saya ulangi lagi,. 6 kali) dibandingkan yang diperoleh Bolivia pada tahun 2000. Bisakah Indonesia mengambil pelajaran dari dua negara itu?.
- Percepat konversi energi dari BBM ke BBG untuk bahan bakar kendaraan sehingga masyarakat mendapat sumber energi yang murah dan ramah lingkungan. Percepatan konversi juga didukung dengan percepatan pengembangan teknologi berbasis sumber daya lokal dan infrastruktur penunjang.
- Membentuk lembaga pemerintah setingkat kementrian untuk serius dalam pengembangan dan mengelola sumber-sumber energi alternatif berbasis sumberdaya lokal. Memperbesar anggaran riset energi alternatif dengan menggandeng seluruh stakeholder nasional untuk bekerjasama dalam pengembangan dan pengelolaan energi alternatif serta jaminan konstitusi baik undang-undang ataupun peraturan pemerintah.
Sekiranya itulah langkah-langkah yang mungkin menyelamatkan ekonomi rakyat dan kedaulatan negara. Berat tidaknya, normatif tidaknya usulan-usulan tersebut tergantung pada tiap-tiap persepsi masing-masing individu. Akhir kata, untuk menutup bahasan ini saya ingin mengutip apa yang dikatakan Dr. Warsito salah seorang Ketua Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi: “Kalau 90% lebih sumber daya energi kita dikuasai oleh asing, maka secara rasional berapa lama negara kita akan mampu bertahan secara ekonomi? Seberapa bebas keputusan politik pemerintah bisa diambil? Dan yang lebih memprihatinkan lagi, seberapa mahal harga yang harus dibeli oleh rakyatnya, dari harga BBM, TDL, hingga tarif jalan tol?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H