Lihat ke Halaman Asli

Hujan dan Natal MerapiTimur 2012

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1356494674151050531

NATAL DAN HUJAN

[caption id="attachment_216630" align="aligncenter" width="400" caption="Memuliakan Air hujan"][/caption]

Jika musim hujan datang, Jakarta sekarang, Jakarta tahun-tahun belakangan ini, dilanda kecemasan akan datangnya genangan air yang kemudian dengan salah kaprah disebut banjir. Tentu hal seperti itu tidak terjadi di Jakarta lima puluh tahun yang lalu, ketika tanah-tanah Bekasi, Tangerang dan Bogor masih membentang luas dengan kebudayaan pertanian.

Ismanto, seniman patung dari Lereng Merapi pernah merespons banjir Jakarta tahun 2007 dengan adegan melukis, disaksikan oleh puluhan wartawan dan masyarakat Lereng Merapi yang sedang merayakan Hari Minggu Palma di Gubug Selo Merapi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.

Ismanto menggambar kota Jakarta dengan gedung-gedung megah bertingkat, jalan-jalan raya penuh mobil. Tangan Ismanto terus menari di atas kanvas. Tampak gambar hujan turun deras sekali. Tidak lama kemudian air menggenangi jalan-jalan aspal. Air makin banyak, rumah-rumah pun tenggelam. Pohon-pohon bertumbangan. Lumpur dan tanah dari Bogor menimbun Jakarta. Jakarta menjadi kota lumpur.

Ismanto belum berhenti melukis, Ratusan pasang mata ingin tahu, Ismanto mau mengakhiri proses melukis seperti apa. Ternyata Ismanto menggambar biji-biji padi tersebar si mana-mana. Akhirnya Ismanto melukis padi-padi itu tumbuh dan berbuah. Jakarta menjadi hutan padi lagi. Hanya sampai di situ Ismanto melukis sebagai respons banjir yang menenggelamkan dua pertiga kota Jakarta tahun 2007.

Lukisan Ismanto itu memberi peringatan halus supaya modernisasi pembangunan kota jangan menelan habis tanah dan kebudayaan pertanian. Tanah dan kebudayaan pertanian itulah yang memberikan hidup sehat manusia dengan makanan. Alam pun hidup sehat dan normal, yaitu menyimpan air hujan yang diguyurkan dari langit. Segala tumbuhan berpesta menghirup air. Sisa-sisanya bersemayam di dalam tanah, menjadi cadangan air untuk musim kemarau.

Tetapi, ibarat nasi telah menjadi bubur, Jakarta sudah terlanjur kehilangan tanah-tanah untuk kebudayaan pertanian, digantikan hutan beton, besi, aspal dan bangunan. Semuanya mustahil untuk dibongkar dan dikembalikan menjadi tanah untuk kebudayaan pertanian. Pada hal hujan tetap akan datang pada musimnya. Hujan tidak bisa diatur agar hanya jatuh di tanah-tanah pertanian di luar kota Jakarta saja. Membuat hujan buatan sudah bisa. Tetapi mengatur hujan masih mustahil. Pertanyaannya adalah budaya air hujan seperti apa yang bisa dibangun agar karunia alam itu tidak sia-sia, apalagi menjadi sumber ancaman kehidupan.

***

Kearifan lokal Merapi Timur

Lereng Merapi timur yang meliputi Kabupaten Klaten dan Boyolali pada ketinggian 500 m dari permukaan laut hingga pada ketinggian 2000 m menyimpan kearifan lokal dan alamiah berbasis air hujan. Lereng Merapi ketinggian 500 m dpl. tidak ada mata air. Mengebor hingga ratus meter pun tidak ditemukan sumber air.

Merapi timur itu Merapi tua, kata para ahli geologi Merapi dari BPPTK Yogyakarta. Bebatuan tua itu sudah tidak bisa menahan dan menyimpan air hujan di ketinggian di atas 500 dpl itu tadi.

Meskipun begitu hutan Merapi Timur tetap menghijau baik musim kemarau maupun musim hujan. Dan yang lebih menarik lagi, penduduknya pun padat hingga di ketinggian 2000 m dpl. Pada hal sulit air tanah. Namun budaya pertanian sayuran, buah-buahan, tembakau, holtikultura, peternakan sapi, kambing, ayam berlangsung dengan hampir tidak ada masalah dengan air. Bukan air dalam bentuk cair, melainkan air dalam bentuk kelembaban dan suhu udara yang dingin dan sejuk.

Tetapi kebutuhan air dalam bentuk cair tetap tinggi. Untuk mandi, cuci, masak, minum, ngombor ratusan sapi dsb. Kebutuhan air cair itu dipetik pada waktu musim hujan. Tiap keluarga memiliki bak tandon air hujan yang memuat untuk kebutuhan sehari-hari, baik musim hujan maupun kemarau.

Bagi masyarakat Merapi Timur itu tadi air hujan adalah karunia alam yang tidak akan diabaikan. “Toya jawah niku rabuk,” (air hujan itu pupuk), kata para petani Merapi timur. Benar sekali, begitu hujan turun, rumput kalanjana, tanaman jagung, pepohonan tumbuh dengan cepatnya, melebihi pupuk buatan. Tidak mengherankan begitu hujan turun di awal musim kemarau, para petani bergegas ke ladang untuk mensyukuri air hujan dengan menanam apa yang dibutuhkan. Ibu-ibu tani bergegas masak, dan jika sudah siap segera dibawa ke ladang.

Mereka yakin air hujan, apalagi di gunung yang belum begitu tercemar udaranya, adalah air bersih, bahkan air murni. Memang air hujan tidak kaya aneka mineral yang dibutuhkan oleh tubuh manusia maupun hewan dan tanaman. Mineral yang dibutuhkan tubuh dicukupi dengan makanan. Mereka yakin, air hujan jauh lebih bersih dari air sumur di kota-kota, yang mungkin jarak beberapa meter dari sumurnya adalah limbah dapur, limbah industri, limbah rumah tangga, macam-macam barang rusak, bangkai, dlsb.

Tanpa harus dibuktikan dengan aneka teknologi dan metodologi kesehatan, warga Merapi Timur berbasis air hujan itu sehat-sehat, kuat-kuat tenaganya dan bahagia. Pekerja keras di pertanian, peternakan, perkebunan dsb. Ketika era cengkeh jaya sebelum BPPC, mereka sejahtera dengan penghasilan cengkeh. Mereka sejahtera dengan panenan sayur-sayuran, buah-buahan. Mereka mampu mengikuti gaya hidup modern dengan hiburan elektronik, kendaraan bermotor, bahkan membangun rumah-rumah gaya kota dengan tembok dinding keramik. Tentu saja karena satu dan lain hal ada yang miskin, berkekurangan. Bukan salah mereka tapi karena memang di negara yang belum adil ini di manapun ada rakyat yang dimiskinkan, dipinggirkan oleh modernisasi.

***

Di luar Jawa

Romo Edy, teman penulis yang bertugas di Tanjung Selor, Kalimantan memberikan cerita yang menarik tentang air hujan. “Air begitu berlimpah di sini. Karena hampir tidak ada musim kemarau. Hampir dua tiga hari sekali hujan. Jika satu minggu lebih tidak hujan, masyarakat gelisah. Mengapa? Karena untuk kebutuhan mandi, cuci, masak dan minum masyarakat menggunakan air hujan. Air hujan lebih bersih dan jernih dari pada air sungai atau sumur. Air hujan selalu diharapkan oleh masyarakat, dan itu juga sudah berpuluh-puluh tahun. Masyarakat tetap sehat,” demikian cerita pastor diosesan Keuskupan Agung Semarang yang ditugaskan di Keuskupan Tanjung Selor sejak tiga tahun yang lalu.

Hal yang sama terjadi di Papua. Sr. Yulia AK yang bertugas di Nabire mengatakan. “Kalau dua minggu tidak hujan, bisa tidak mandi dan masak. Maka kami pun berdoa mohon hujan. Bersyukurlah di Nabire juga tidak ada musim kemarau berbulan-bulan seperti di Jawa,” ungkap suster asal Yogyakarta itu.

Ketika saya mendapat kesempatan pergi ke Israel, dari G. Tabor dengan ketinggian sekitar 1500 m dpl, saya melihat danau berwarna biru seluas lima kali lapangan sepak bola. “Itu bukan danau, kata teman dari Israel yang memandu perjalanan. Itu air hujan yang ditampung dalam kolam raksasa. Air itu untuk kebutuhan pertanian.” Hal yang serupa saya temukan juga ketika saya berkunjung ke Belanda. Hebat sekali dua negara itu. Air hujan tidak disia-siakan dengan menggunakan biaya yang besar, teknologi yang tinggi tentu saja, oleh negara / pemerintah yang bertanggungjawab pada budaya pertanian.

***

Mencegah polusi air hujan

Begitu berlimpahnya air hujan di negeri kita yang beriklim tropis ini. Praksis-praksis masyarakat menggunakan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari dan pertanian memang masih merupakan keterpaksaan alamiah, belum sebagai strategi kebudayaan oleh pemerintah misalnya. Namun praksis itu jelas layak dan pantas diapresiasi dan dihargai, bukan diremehkan, apalagi malah diprovokasi secara halus lewat iklan-iklan air kemasan galon dan botol-botol plastik. Sangatlah jahat, jika masyarakat pengguna air hujan di Merapi Timur, Winosari, Papua, Kalimantan, Sumatera yang seumumnya adalah rakyat kecil itu dibujuk-bujuk agar beralih dari hujan ke air kemasan dalam plastik.

Sungguh tidak benar menganggap bahwa air hujan itu tidak sehat, menimbulkan penyakit flue, batuk, pilek, sakit perut dsb. Bukan air hujan penyebabnya, melainkan pencemaran udara dan lingkungan oleh asap industri, asap kendaraan bermotor, pembakaran hutan dan segala limbah kotoran di permukaan tanah itu yang akhirnya menguap dan berinteraksi di udara dengan air hujan yang jatuh dari langit awan-awan. Kalau lingkungan kehidupan kita bersih, air hujan pun tetap bersih. Di pegunungan dan di lahan luas pertanian, air hujan tentulah tetap air bersih.

Bukankah air hujan pada dasarnya adalah air murni. Air yang disuling oleh alam, oleh panas matahari. Air hujan itu seperti dalam rumus kimia air, H2O yang terikat. Air suling alami itu belum mengandung banyak mineral yang dibutuhkan oleh kehidupan tubuh manusia, hewan dan tanam-tanaman. Mineralnya akan ditambahkan jika air hujan itu sudah berinteraksi dengan tumbuh-tumbuhan, tanah dan bebatuan di bumi ini.

Kalau begitu pengertian kita, bukankah air hujan bisa menjadi bahan utama membuat air mineral. Pabrik air mineral tidak perlu mencari bahan dari mata air di gunung, berebut dengan petani dan masyarakat. Teknologinya tentu tidak sulit untuk memasukkan mineral ke dalam air hujan. Tinggal kemauannya ada atau tidak.

Dengan demikian selain kita punya kewajiban alamiah untuk mencegah agar air hujan tidak dicemari oleh polusi dari lingkungan hidup kita, sangat menarik dan relevan juga bagaimana kreativitas masyarakat, khususnya kalangan industri air mineral memanfaatkan air hujan di wilayah tropis ini.

Perayaan natal air hujan

Praksis keagamaan menggunakan air ada di semua agama. Agama Kristen membabtis dengan menggunakan air. Umat Muslim membasuh muka dengan air sebelum berdoa. Agama Budha dan Hindu pun demikian juga. Bahkan praktek pengobatan alternatif juga banyak yang menggunakan air putih. Tetapi menggunakan air hujan? Nampaknya masih hal yang langka.

Hari Raya Natal tahun 2012, Umat Katolik Merapi Timur di wilayah Deles, Klaten, merintis perayaan dengan menggunakan air hujan. Makna edukasinya adalah mengangkat kearifan lokal Merapi Timur yang sehari-harinya memang menggunakan air hujan.

Hari-hari sebelum tanggal 25 Des anak-anak, keluarga-keluarga menuai air hujan yang langsung jatuh dari langit, bukan dari genting dan talang. Kemudian air itu akan disimpan di dalam kendi-kendi tanah. Interaksi dengan kendi tanah itu tentu akan menambah mineral air hujan itu. Ratusan kendi berisi air hujan itu akan dijadikan sarana untuk membuat guwa natal sebagai kreativitas seni.

Ungkapan penghargaan dan penghormatan pada air hujan itu diekspresikan dalam seni kirap / prosesi air hujan dalam kendi tanah itu mengelilingi desa. Ini menjadi kreativitas ungkapan syukur atas air hujan yang diberikan oleh Tuhan sebagai sumber kehidupan segala makhluk, termasuk manusia.

Umat Kristen mengimani Yesus sebagai Allah yang menjelma menjadi manusia, tinggal di bumi yang 70 prosennya adalah air, baik air laut maupun air hujan. Yesus menjadi “sahabat” air, juga air hujan. Sang Penyelemat itu memberkati umatnya dan dunia ini dengan air. Maka air hujan yang sudah diistanakan dalam kendi itu oleh umat dimohonkan berkat lewat imam. Kendi-kendi itu melambangkan planet bumi ini yang tidak akan menjadi tempat kehidupan tanpa air, tanpa hujan.

Selamat Natal selamat mencintai karya Tuhan dalam air hujan ciptaanNya, untuk melestarikan keutuhan ciptaan.

V. Kirjito,

Pastor desa Merapi Timur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline