“Aku sehat, Bu.” Mila membuka pintu minimarket. “Nggak sakit apa-apa kecuali mimisan waktu musim dingin.” Dia mengambil keranjang belanja sambil terus berbicara di telepon.
“Syukur kalau begitu,” ucap Ibu di ujung telepon. “Ibu juga di sini sehat. Adik-adikmu juga.”
Mila mengambil satu cup mi instan dari ujung rak. “Uang yang kemarin aku kirim cukup?” tanya Mila. Dia beralih ke bagian minuman bersoda.
“Ibu kan sudah bilang, jangan kirim uang. Pakai uang beasiswamu sebaik-baiknya. Ditabung saja, kamu kan tinggal di negeri orang. Kalau terjadi apa-apa terus kamu nggak punya dana darurat gimana?”
Mila tertawa mendengus. “Apa-apa itu maksudnya apa?”
“Ya apa gitu, sakit atau apa, kan kamu nggak bisa ngandelin siapa-siapa di sana.”
“Aku punya tabungan kok, Bu. Uang yang aku kirim sudah dipotong untuk tabungan.”
“Tapi kok banyak?”
“Aku tinggal di kota kecil, Bu. Jadi biaya hidupnya murah. Tidak keluar uang untuk ongkos, ke kampus naik sepeda, makan masak sendiri. Jadi hemat.”
“Tapi yang penting, jaga kesehatan, ya,” ucap Ibu untuk kesekian ribu kalinya.
“Iya, iya.” Mila tidak menemukan soda yang biasa dia beli. Diliriknya kasir yang yang sedang mengelap kaca pintu. “Permisi.”