Lihat ke Halaman Asli

Rindu Sepenggal Hati

Diperbarui: 18 April 2024   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Meilian, aku adalah seorang gadis perempuan yang terlahir di tanah Jawa dengan keluarga yang sederhana. Terlahir menjadi anak sulung dalam keluarga ternyata tidaklah mudah, faktanya menjadi anak sulung cenderung harus mandiri, cekatan, kuat mental, dan berani mengambil risiko. Tidak hanya itu, menjadi anak sulung juga adalah suatu harapan bagi orang tua dan keluarga. Namun, apalah dayaku ini yang tak sekuat baja harus bisa menaikkan derajat keluarga. 

Aku tinggal bersama dengan kakek dan nenek di rumah, sedangkan ayah dan bunda bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan. Meski kakek dan nenek sudah renta dan sering sakit, kakek dan nenek selalu membuat diriku bahagia. Apalagi, kakek yang selalu membuatku tertawa dan senang ketika aku tengah bersamanya. Tet Saat itu, aku sedang berjalan-jalan dengan kakek. Kakek selalu menawarkan jajanan-jajanan kepadaku.api, aku menolak tawarannya, bahkan berulang kali menolak. Namun, tetap saja kakek membelikan jajanan yang cukup banyak untukku. Sebenarnya, aku tidak ingin memberatkan kakek, karena aku tahu uang itu digunakan untuk membeli obat-obatan kakek. 

Berbeda dengan ayah, sejak setelah menikah dengan bunda, sifatnya memang sudah berubah drastis dan berbanding terbalik dengan kakek. Ayah semakin hari mulai tidak memedulikan keadaan keluarga dan selalu pulang malam di setiap harinya. Jarang memberikan kabar dengan bunda, bahkan bunda saja sudah tidak dipedulikan oleh ayah. Namun, bunda selalu tersenyum seperti keadaannya baik-baik saja. Padahal, aku tahu bunda sedang menyembunyikan rasa sakit dan sedih itu di dalam hati kecilnya.

Aku teringat dengan masa laluku, ketika aku menderita penyakit demam berdarah saat itu. Aku mengalami demam yang tinggi secara mendadak di rumah, dan bunda yang selalu menjaga, merawatku, dan selalu berada di sampingku setiap saat. Beberapa hari kemudian, aku mengalami mimisan, bintik-bintik merah, dan muntah disertai darah. Bunda semakin panik dengan keadaanku, sedangkan ayah sibuk dengan telepon genggamnya. Bunda menginginkan aku untuk dibawa ke rumah sakit secepatnya. Namun, ayah menolak permintaan bunda dengan nada yang kasar. Bunda tidak peduli dengan ayah yang bersikap kasar dengannya, aku hanya bisa menangis di kamar. Tetapi, bunda tetap bersikeras membujuk ayah hingga aku dibawa ke rumah sakit.

Setelah sampai di rumah sakit, dokter langsung membawaku ke ruangan rumah sakit untuk diperiksa penyakit apa yang sedang kualami. Kemudian, dokter berkata "Jika anak bapak dan ibu tidak dibawa ke rumah sakit, kemungkinan dapat berakibat pembuluh darahnya pecah dan nyawa dari anak bapak dan ibu tidak selamat. Syukurlah, bapak dan ibu tepat sekali untuk membawa anaknya ke rumah sakit". Ayah hampir saja membuatku kehilangan nyawa. Namun, aku tetap tulus menyayangi dirinya. 

Selama aku hidup, aku belum pernah merasakan sentuhan dari seorang ayah. Ketika aku melihat teman-temanku canda tawa dengan ayahnya, disitulah hatiku menangis dan batinku merintih. Apalagi ketika teman-teman menanyakan ayahku yang tidak pernah terlihat semasa aku sekolah. Dunia tidak adil denganku, teman-temanku terlahir dari keluarga cemara sedangkan aku berbeda dari mereka. Setiap hari aku hanya bisa menangis di pojokan kamar ketika ayah dan bunda bertengkar, aku tidak tahu harus bersandar dengan siapa, aku hanya bisa bersandar dengan Maha Pencipta. 

Suatu ketika, kakek sedang mengidap penyakit asam lambung. Setiap aku pulang sekolah, aku dan nenek menyuapi kakek sesuap nasi. Namun, semakin hari penyakit kakek tambah parah. Hanya aku, nenek, dan bunda yang merawat kakek di rumah. Aku merasa sedih ketika kakek selalu mual dan muntah-muntah di setiap harinya. Nenek selalu mengeluarkan air mata ketika sedang menyuapi kakek yang sudah sangat lemas dan tak berdaya. Kakek juga terlihat merasa lelah dengan keadaan yang seperti itu dan tidak ada perubahan. Pada akhirnya, bunda memutuskan untuk membawa kakek ke rumah sakit untuk diinfus. Ketika akan diinfus, dokter tidak menemukan pembuluh darah kakek untuk disuntikkan jarum infus. Dokter juga sudah angkat tangan dan kakek kembali pulang ke rumah. Namun takdir berkata lain, kakek harus berpulang ke rahmat Tuhan.

Saat ini, aku benar-benar merasa kesepian. Biasanya ada yang membuatku tertawa ketika sehabis pulang sekolah, dan sekarang aku merasa sangat bosan. Masalah bertubi-tubi menghampiri, mungkin inilah cara yang Maha Kuasa untuk meningkatkan derajat keluargaku. Mulai hari ini hingga seterusnya, aku tidak bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang kakek. Aku berharap kakek tenang dan bahagia di alam sana. Rasa sayang dan rindu dengan kakek selalu senantiasa terlekat dan tertanam di dalam hati kecilku. 

Aku mulai merasa bosan diam dirumah sejak kakek sudah tiada, bersenda gurau dan canda tawa sudah lenyap dalam hidupku. Sumber kebahagianku hanya terletak pada dekapan kakek, dan sekarang kebahagiaan itu sudah tidak ada lagi dalam hidupku. Namun, aku tetap bersyukur dalam menjalani hidup, walaupun lebih banyak duka yang kurasa. Bunda adalah alasanku, mengapa aku tetap bersyukur dalam menjalani hidup. Tetapi, sifat bunda mulai berubah setelah ayah selalu marah dengan bunda. Mungkin bunda stres menghadapi ayah, dan bunda melampiaskan amarahnya kepadaku. 

Terkadang ketika sehabis pulang sekolah, aku sering keluar rumah untuk menenangkan diri dan mencari hawa segar. Berjalan-jalan sendiri di komplek dan memotret pemandangan-pemandangan diluar menggunakan kamera telepon genggam, karena sebenarnya aku memiliki hobi fotografi. Setelah aku memotret dan berjalan di sekitar komplek, aku pulang ke rumah sambil mengunggah hasil potretku di media sosial. Keluar rumah setiap sore bukanlah keinginanku, tetapi keadaanlah yang memaksaku. Karena setiap aku pulang sekolah, selalu saja bunda mencari permasalahan agar aku dimarahi olehnya. Saatnya tiba pembagian rapor hasil belajarku selama satu tahun, di hari-hari sebelumnya aku selalu terpikirkan dengan hasil belajarku selama ini di sekolah. Aku takut bunda kecewa dengan hasil belajarku yang tidak maksimal, apalagi aku adalah harapan dan kebanggaan bunda. Hasil rapor memang bukan akhir dari segalanya, tetapi keluarga itu yang berarti dan segalanya buatku. Akhir-akhir ini memang aku tidak fokus belajar, karena terpikirkan dengan keluargaku yang seperti akan hancur lebur. Benar saja terjadi, bunda sangat kecewa dengan hasil raporku. Bahkan, aku sendiri saja yang melihat hasil raporku saja benar-benar tidak akan menyangka akan mendapatkan hasil yang seperti itu. 

Maafkan buah hatimu ini bunda, sudah berhasil mengecewakanmu sampai menusuk hati yang terdalam. Setelah pembagian rapor, bunda terlihat tidak peduli denganku, dan rasa kekecewaan bunda terus berlanjut hingga beberapa hari. Selang beberapa hari, bunda meminta maaf kepadaku. Padahal ini salahku, seharusnya aku fokus belajar dan tidak mencampuradukkan dengan permasalahan dalam keluarga. Namun, itu sangatlah sulit bagiku. Apakah ada seorang anak yang biasa saja ketika melihat kedua orangtuanya bertengkar dan ingin berpisah satu sama lain? Tentu tidak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline