Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman, Refleksi, dan Kemanusiaan

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman, kata orang merupakan guru terbaik yang mampu mengajarkan kita banyak hal. Entahlah, yang aku tahu pengalaman memang selalu memberi kita informasi sebagai hasil refleksi kita terhadap apa yang telah berlangsung dimasa sebelumnya. Apakah kemudian informasi itu akan direkonstruksi atau tidak, bahkan digunakan atau tidak, tergantung pada kehendak si subyek yang bersangkutan, yang jelas pengalaman selalu memungkinkan seseorang menjadi lebih tahu.

Pengalaman juga dianggap sebagai sesuatu yang begitu bernilai, sehingga banyak aku mendengar orang sampai rela melakukan segala sesuatu sekedar untuk mencarinya. Ya, seperti kalimat yang sering diucapkan bahkan olehku sendiri “untuk mencari pengalaman”. Kalimat itu aku pahami bahwa si subyek melakukan sesuatu yang sebelumnya belum pernah ia lakukan atau ketahui,dan demi mendapatkan informasi sehingga si subyek menjadi tahu agar nantinya disebut sebagai pengalaman.

Aku pikir tidak semua subyek mampu dan mau melakukan refleksi bahkan menangkap informasi dengan baik terhadap apa yang telah dilaluinya sehingga mampu mendayagunakannya untuk berproses.Seperti pengalaman minggu lalu yang melelahkan namun menyenangkan. Tiga hari bergelut di acara Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-25 yang berlangsung  di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bersama beberapa orang teman baik.

Satu kata yang terucap saat menyaksikan pagelaran acara tersebut “Wow !, Begitu terkagum aku dibuatnya, sebab ini merupakan salah satu pengalaman luar biasa yang pernah ku dapat. Sudah menjadi cita-citaku untuk bisa berada dan menjadi bagian dari acara tersebut. PIMNAS merupakan ajang kompetisi bergengsi tingkat nasional bagi mereka mahasiswa Indonesia yang memiliki passion di bidang karya tulis, entrepreneur dan technopreneur.

Begitu banyak yang berkeinginan menjadi peserta dan mampu berlomba di ajang bergengsi tersebut. Setali tiga uang dengan mereka, aku pun demikian. Witing tresna jalaran saka kulina, falsafah jawa ini ternyata berlaku padaku. Berawal dari tuntutan tugas perkuliahan menyusun proposal wirausaha kreatif, lalu menjadi rutinitas, hingga tumbuhlah passion di bidang tersebut. Tahun ini kesempatan itu memang belum ada, namun aku tidak akan menyerah berjuang menjadi salah satu kontestan di tahun berikutnya.

Peserta PIMNAS yang begitu beragam dan datang dari kampus seluruh penjuru negeri, memberiku kesempatan berkenalan dengan mereka yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, dan itu rasanya luar biasa. Keberagaman dan keunikan masing-masing daerah nyaris selalu tercermin pada setiap perwakilan mahasiswanya. Mendapat teman baru, bisa berbagi cerita dan informasi, dan menambah wawasan, That was amazing experiences.

Pengalaman selama 3 hari itu memang sangat melelahkan, pergi sejak pagi, pulang larut malam, menempuh perjalanan menuju kampus UMY yang memakan waktu minimal 45 menit dari daerah tempat ku tinggal, yakni di bilangan Asti Kuningan-Kampus UNY. Itupun jika kondisi jalannya lancar tanpa macet, belum lagi masih harus bolak-balik beberapa kali untuk keperluan mengambil stok produk yang dipamerkan. Tetapi semua itu terbayar lunas oleh ‘Pengalaman dan sejumlah fee yang kami dapat. Tidak seberapa memang tapi itu merupakan hasil keringat kami sendiri, dan kami puas dengan kerja keras kami karena acara berlangsung sukses.

13 juli 2012, seusai menuntaskan kewajiban kami terkait PIMNAS beberapa hari lalu, aku dan salah satu temanku, yakni Ulin, yang juga kerap dijuluki ‘Nenek’ oleh teman-teman lain hanya karena sifatnya yang cerewet seperti perempuan tua itu berniat untuk mengadakan celebrate di sore harinya, sekedaruntuk menikmati hasil keringat kami dengan menyusuri kawasan Malioboro.Bermaksud sedikit bersenang-senang dan melepas lelah, membeli beberapa barang kenangan untuk orang-orang terkasih.

Sore itu, tibalah kami di salah satu bangunan megah nan kokoh yang berada di tengah-tengah jalan Malioboro, ya bangunan itu adalah mall Malioboro. Kami masuk melihat-lihat dan berkeliling, kemudian kami memutuskan untuk berjalan keluar bangunan itu menikmati suasana malam yang selalu saja menarik di sepanjang jalan Malioboro, kawasan ini memang melekat sebagai salah satu icon wisata mancanegara yang ada di Kota ini, Yogyakarta.

Asik kami bercerita soal pengalaman beberapa hari yang lalu di acara PIMNAS, tiba-tiba kulihat raut wajahnya berubah. Ulinnampak resah, juga gelisah seperti ada yang menganggu pandangannya. Mendadak, Ulin  mengajakku mencari warung nasi terdekat. Tanpa pikir panjang dan menanyakan maksud permintaannya, aku pun membantunya mecari penjual nasi. Ia semakin resah, ku perhatikan matanya berkaca-kaca, seperti sedang berupaya keras menahan air mata agar tidak jatuh meski sesekali kulihat pipinya basah. Aku bingung, ada apa gerangan dengan temanku, seperti ada yang bergejolak didadanya, ada yang sedang menganggu pikirannya.

Lirih namun jelas kudengar ia berkata, “Aku kasihan dengan nenek tadi”.

Semakin bingung dibuatnya, karena seingatku tidak ada nenek di sepanjang jalan tadi, atau aku yang tidak melihatnya. Entahlah, mungkin aku memang tak terlalu peka dengan suasana sekitar karena terlalu hanyut dalam senang dan juga lelah.

Selepas membeli dua bungkus nasi ayam lengkap dengan sayur dan sambalnya, ia bergegas mengajakku kembali ke jalan trotoar disekitar mall tadi. Terlihat raut wajahnya yang nampak bingung seperti sedang mencari seseorang. Ya tentu sang nenek  yang dibicarakan tadi. Mencoba untuk membantunya, aku membuka lebar-lebar mata ini, mencari sesosok nenek disekeliling jalan itu. Tak perlu waktu lama untuk mencarinya, karena memang sangat mencolok, nampak sesosok nenek renta tidak jauh dari kami sedang duduk dilantai trotoar jalan, dan bersandar.

Nenek itu nampak sangat lelah, kelaparan dan kedinginan. Memang beberapa terakhir ini hawa dingin Yogya mampu menembus tulang, apalagi bagi nenek itu, tubuh rentahnya yang kurus dan hanya dibalut baju tipis tanpa jaket ataupun selimut tentu akan begitu menyiksa.

Ya Tuhan, ada apa gerangan, mengapa nenek setua itu berada dijalanan selarut ini? Ia tidak meminta-minta, hanya duduk bersandar seraya menggerak-gerakkan tangannya pada sesuatu yang berada tepat disebelahnya. Entahlah apa yang tengah dikerjakannya, aku pun belum mampu melihatnnya begitu jelas.

Tak lama kemudian sampailah kami ditempat nenek itu. Astaga kini jelas apa yang tengah dikerjakannya, terlihat sesosok laki-laki paruh baya disebelahnya sedang merebahkan badan. Nenek itu memijat-mijat kepala dan beberapa bagian tubuh laki-laki yangseperti sedang sakit itu. Bak disambar petir, hatiku gemuruh, terkejut, sedih, iba, marah, semua melebur menjadi satu. Sesak dadaku, dan sulit rasanya bernafas.

Berjuta pertanyaan menyerangku, ada apa? apa yang salah? mengapa mereka diluar selarut ini? Ingin rasanya aku menjerit, seolah ingin berontak dan memaki-maki, tapi pada siapa. Ya lagi-lagi hanya dalam hati aku menangisi keadaan mereka. Berbeda dengan Ulin yang menangis tersedan karena sejak awal tak mampu menahan air mata.

Segera kami berikan dua bungkus nasi yang tadi kami beli dan sedikit rezeki pada nenek itu, sambil berharap setidaknya malam ini mereka bisa tertidur pulas karena perut tidak lagi berorasi menuntut haknya. Nenek itu menerimanya seraya mengucapkan berbagai doa untuk kami. Sayang tak banyak yang bisa ku bicarakan dengannya malam itu meskipun aku ingin sekali berbincang barang sejenak. Ulin segera mengajakku pergi, tangisannya semakin menjadi, ia tak kuat lagi menahan, tak tega berlama-lama didekat sang Nenek.

Malam yang sangat luar biasa bagiku, lengkap sudah rasanya hari itu. Mataku seolah dipaksa untuk lebih lebar dan peka lagi melihat keadaan sekitarku. Tak kusangka,Kota yang selalu ku puja karena keindahannya, keramahan orang-orangnya, yang  membuatku nyaman, yang kufikir tidak sekejam Ibu Kota atau Kota lainnya ini ternyata juga menyimpan cerita pilu dan kelam.

Masih banyak diantara kita yang harus tertatih-tatih untuk memperoleh sesuap nasi, yang tidak punya tempat berteduh, berlindung dari teriknya matahari atau dinginnya malam dan hujan. Hmm, How lucky I am. Kita selalu mengira bahwa kita adalah orang yang paling menderita, merasa paling sengsara pada setiap masalah hidup yang ditemui, tapi kita lupa kalau di luar sana masih banyak orang-orang yang samasekali tidak lebih beruntung dari kita, sehingga kita terkadang tidak mampu bersyukur atas apa yang dimiliki.

Ku tutup hari itu dengan pelajaran yang begitu berharga, pelajaran yang memberikanku pengalaman mengesankan dan tak akan pernah kulupakan, yang mengingatkanku untuk selalu bersyukur, untuk peka dan mau berbagi terhadap sesama. Dan untukmu Nenek, semoga Tuhan selalu melindungi dan memberkahimu dan laki-laki itu.

Terima kasih Nenek.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline