Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Rizqi Hengki

Calon Pegawai Negeri Sipil pada Mahkamah Agung Republik Indonesia

Aparat Penegak Hukum dan Korupsi: Quo Vadis Budaya Rasa Malu?

Diperbarui: 27 Maret 2024   01:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

nasional.sindonews.com

Sudah lama sekali hati nurani saya seperti dikejar-kejar untuk menulis tentang budaya rasa malu. Dewasa ini, korupsi sudah begitu merajalela di segala tingkat kehidupan dan semua lapisan birokrasi pemerintahan di Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bahwa rasa malu seolah-olah tidak dikenal lagi dalam hati nurani orang-orang yang terlibat korupsi di Indonesia.

Jika Moh. Hatta masih hidup, beliau akan mengatakan, "Nah benar kan? Korupsi sudah membudaya." Ada banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat yang tidak sepakat atau setuju bahwa korupsi sudah membudaya.

Dari segi kriminologi dan viktimologi, jelas tidak. Saya sendiri tidak setuju kalau dikatakan bahwa korupsi sudah membudaya, meskipun ada ungkapan "de uitzonderingen bevestigen de regel" (selalu ada pengecualian). Permasalahan korupsi ini seharusnya dikupas dan ditelaah dari perspektif budaya (malu).

Marvin E. Wolfgang, seorang kriminolog terkenal dari Amerika Serikat pernah mengatakan "it was not the sin in the soul, but the disease in the mind that needed to be changed." Bagian kedua dari kalimat tersebut di atas perlu dipikir ulang dan disimak dengan bijak oleh (para) Pemimpin Bangsa kita, para Menteri dan pejabat pemerintahan terutama di bidang penegakan hukum dan keadilan.

Apalagi dengan tiadanya kultur/budaya rasa malu (seperti di Jepang), ibarat "the frog in the kettle." Hal itu dapat dimengerti seperti dikatakan pepatah Belanda "wiens brood men eet, diens woord men spreekt."

Lalu, saya teringat pada tulisan Stanton Wheeler bahwa di salah satu penjara di Norwegia, apabila pintunya dibuka, tidak ada Narapidana yang melarikan diri. Sungguh mengherankan dan menakjubkan! Bagaimana dengan di Indonesia?

Korupsi di zaman Presiden Soeharto dapat dikatakan "is under the table", ibarat penyakit kanker sosial. Akan tetapi, Soeharto licin dan cerdik dengan melancarkan semboyan "mikul dhuwur mendem jero".

Sampai ada cetusan ungkapan dalam bahasa Belanda, "de regering is radeloos, het volk is radeloos, het land is reddeloos." (Pemerintah seperti tak berdaya, alias tidak bisa berbuat apa-apa lagi, rakyat sudah seperti bingung dan linglung, dan negara ini seperti sudah tidak tertolong lagi).

Sedangkan di zaman Presiden SBY dan Presiden Jokowi "corruption includes the table". Anda bisa menyaksikan bagaimana para koruptor yang "ditangkap dan/atau ditahan" oleh KPK itu terus tersenyum, seolah-olah mereka tidak berdosa.

Bahkan dengan wajah tersenyum, yang bersangkutan masih mengangkat dua ibu jarinya seolah-olah berpesan, "jangan khawatir, aku tidak bersalah". Meskipun Indonesia belum memiliki shame culture, sikap yang demikian sulit ditoleransi atau dibenarkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline