Lihat ke Halaman Asli

Puisi: Tuhan dan Pria Tua

Diperbarui: 17 Agustus 2020   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

/1/
Malam mulai menggerogoti kasurku: kau tak paham mengapa genting-genting kamar itu menjatuhkan manik-manik yang langsung terbang apabila kausebut namanya. Siapa yang tahu bahwa Tuhan telah memberinya nama? Tak ada yang benar-benar memiliki emosi berlebih terkait dengan nama manik-manik itu, kau juga tak dikaruniai rasa penasaran: Jika apa yang kutakutkan darimu adalah ketika kau menyebut nama-nama anak genting itu, kaupun mulai menjerit ketakutan pula. Ada yang tidak mampu menangis ketika kau dan aku merasa ketakutan: puntung rokok itu masuk ke dalam dada seorang pria tua yang menikmati hujan di malam itu. Siapa yang mau terkejut kalau manik-manik itu ternyata punya nama yang bengis?

Manusia yang dingin dan menyemerbak ketika kautaburi kaki-kaki matahari: Tak ada yang tahu - yang kaupikirkan - tentang manusia malam itu. Malam sedang dingin-dinginnya, manusia itu berjalan jongkok melewati mata-mata telanjang dari pohon-pohon di samping jalan raya depan rumahmu.

/2/
denting jam malam, lirik Tuhan padanya terkesan mengira-ngira mengapa aku tak mau mengakui kalau aku takut kepada manusia malam itu, atau mungkin sebaliknya. Tak ada yang mau berkilat menggunakan pisau dapur yang belum kucuci sehabis kugunakan untuk mengiris apel. Dia di dalam matamu: Hei, Sayang, tak ada satupun dari kita yang selamat malam itu? : Kau terkesan mau menghunuskan bulu-bulu matamu ke perutku, kautahu perutku terlalu merah apabila ada yang menantangnya berkelahi malam-malam.

denting jam malam itu berteriak-teriak minta tolong dan berlari ke dapur, yang ditemukannya hanya sekilat pisau yang mengumbar darah manisnya.

/3/
Kau tak bisa pergi dari mataku! Ah, jalang. Hei, kau! Apa yang membuatmu takut ketika mengucapkan nama manik-manik anak genting itu? Kau tak sadarkan diri, aku sendiri yang mengusap darah dari matamu: mata-mata kerdil itu? Siapa yang mau menghunus pisau ke dalam mata jam malam itu? Aku semakin takut ketika kausadar dan mulai memasukkan irisan apel ke dalam saku dadaku. Tanganmu yang kecil: Kau bersijingkat dengan malam yang bengis, dentum jam yang jalang, dan manusia malam yang menakutkan: Hei, Sayang! Siapa seorang pria tua yang menikmati hujan malam itu?

denting jam malam, Tuhan semakin gesit menghidupkan beberapa mayat yang mati malam itu, tak ada satupun yang tahu mengapa pria itu menikmati hujan malam karena puntung rokok di dalam dadanya. Rokok itu mulai dingin, aku pun mulai takut ketika kaumenyebut nama-nama anak genting itu kembali.

2020

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline