Lihat ke Halaman Asli

Pusaran Rindu

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat jam denting dua, sebuah pesan singkat nampak menari-nari dalam handphone jadulku. "Mas, اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ minggu depan aku berangkat ke Jerman. Kuliah."

Sebuah rasa syahdu menyentil ruang senduku. Nampaknya, aku akan kehilangan dia selamanya. Haruskah kuungkapkan segenap rasa hatiku kepadanya? Aku tahu. Aku sedang bermain hati dengan sebuah harapan hampa. Tapi, apa salahnya jika aku mengatakannya sekarang dengan seluruh jujur yang kupunya? Aku mencintainya sejak pertama kali aku mengenalnya. Dua belas tahun yang lalu.

Aku merindukannya. Namun, aku pun tak lupakan logikaku. Siapa dirinya, siapa diriku. Tapi, minggu depan ia akan pergi dan mungkin takkan bersua kembali denganku. Biarlah harapan hampa ini tinggallah harapan.

Kutarik nafas sedalam-dalamnya nafas, mencoba menguatkan mental kelelakianku. Setitik keraguan memagut jiwaku. Sebuah pertanyaan merayuku untuk diam,"Apakah kejujuran ini hanya akan mempermalukanku saja?"

Keheningan malam hanyutkan jiwaku semakin dalam. Akalku mencoba berdiplomasi dan bernegoisasi dengan hatiku. Akalku berkata,"Bukankah lebih baik gagal dari pada tidak mencoba sama sekali.?" Hatiku menimpali,"Betapa malunya jika aku mengatakannya.."

Peluh malam basahi keningku. Aku lelah. Aku payah menanggung beban rindu selama ini. Bara rindu ini terlalu kuat merenggut hatiku. Aku harus mengatakannya. Aku harus. Sekarang!

Kuucapkan salam dengan suara bergetar. Lalu aku memohon maaf karena telah menggangunya. Dan kukatakan, anggap saja ucapanku ini hanya angin lalu, sebuah intermezo belaka.

"Maafkan jika kejujuranku nanti membuatmu marah. Maafkan aku, aku tak kuasa menanggung rasa ini." Prologku mendayu-dayu. Hanya kudengar desahan nafas di seberang sana.

Debaran rasa ini seakan-akan ingin mengoyak dada tirusku saat kukatakan dengan sejujur-jujurnya rasa hatiku kepadanya.

Kuhembuskan nafas berat dan gugupku. Lega nian. Plong terasa. Ia pun hanya menjawab,"Terima kasih, Mas."

Sebenarnya aku berharap sebuah jawaban lain dari bibirnya. Tapi ternyata hanya sebuah ucapan terima kasih. Hatiku mulai terasa gelisah. Mungkin benar, aku memang tidak tahu diri. Aku telah mempermalukan diriku. Huh. Hembusan nafasku semakin berat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline