Lihat ke Halaman Asli

Rizqi Khoirunnisa

Mahasiswa Antropologi Universitas Airlangga

Madura, Leluhur, dan Radhin Saghara: Kajian Strukturalisme Levi-Strauss

Diperbarui: 30 November 2022   17:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kearifan lokal merupakan kekayaan suku bangsa yang diwariskan secara turun temurun dan diterapkan masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal diartikan sebagai kebijaksanaan dan pengetahuan asli milik suku bangsa terwujud dalam berbagai bentuk kebudayaan. Di dalamnya terkandung nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan masyarakat dalam berperilaku. Salah satu bentuk kearifan lokal terwujud dalam bentuk cerita rakyat.

Cerita rakyat merupakan karya sastra masyarakat yang pada mulanya ditradisikan dari mulut ke mulut. Karena tidak diketahui siapa yang menciptakan, terdapat berbagai versi cerita rakyat bergantung siapa yang menyampaikan. Cerita rakyat mengandung mitos yang mengisahkan suatu peristiwa secara imajinatif dan terkesan tidak masuk akal. Namun, di balik tidak masuk akan nya itu, cerita rakyat dapat menggambarkan latar yang sesungguhnya dari suatu masyarakat. Baik itu latar sosial budaya, latar keadaan ekologis. Setiap latar itu saling berkesinambungan dalam membentuk nilai dan norma suku bangsa.

Suatu suku bangsa yang memiliki ciri khas baik itu bentang ekologis ataupun sosial budaya adalah Madura. Saat ini, banyak tinjauan literatur ilmiah yang menjelaskan tentang Madura. Di sisi lain, masyarakat Madura telah menceritakan latar belakang kehidupannya melalui sebuah cerita rakyat. Cerita rakyat Madura yang terkenal adalah mitos Radhin Saghârâ. Di Madura, cerita tersebut selalu digaungkan sejak Sekolah Dasar. Hal itu ditujukan untuk memperkenalkan kebudayaan Madura.

Sayangnya makna dari mitos Radhin Saghârâ jarang diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu, penulis akan mengkaji makna mitos Radhin Saghârâ dengan perspektif Antropologi, khususnya teori strukturalisme Levi-Strauss. Terdapat bermacam-macam versi cerita Radhin Saghârâ. Di sini, penulis menggunakan cerita Radhin Saghârâ oleh Iqbal Nurul Azhar dalam antologi cerita rakyat “Mortèka dâri Madhurâ”. Analisis mitos dilakukan dengan mengetahui miteme untuk menemukan makna budaya. Miteme merupakan unsur terkecil dalam mitos serupa kalimat atau kata yang menunjukkan relasi atau makna tertentu. Miteme juga sebagai simbol yang mengandung makna. Setelah itu, disusunlah relasi sintagmatis melalui urutan peristiwa dan relasi paradigmatis yang didapat hubungan antarbagian cerita. Pada paragraf selanjutnya, penulis akan menjabarkan sinopsis Radhin Saghârâ.

Konon, di Pulau Jawa teradapat Kerajaan Medang Kamulan yang dipimpin Sang Hyang Tunggal. Medang Kamulan merupakan kerajaan yang makmur dan sentosa. Sang Hyang Tunggal tinggal bersama permaisuri serta para putrinya yang cantik, salah satunya yaitu Putri atau yang dikenal sebagai Bendoro Gung. Ia terkenal sebagai putri yang berkepribadian baik dan sangat cantik. Banyak raja dan pangeran negeri lain yang melamarnya Namun, selalu ditolak Bendoro Gung.

Suatu ketika Bendoro Gung mengandung, padahal ia tidak pernah disentuh oleh laki-laki. Sang Raja marah dan memerintahkan patihnya yaitu Patih Pranggulang untuk membunuh Bendoro Gung di hutan. Namun, ternyata setelah beberapa kali mencoba menebas leher, pedang selalu terpental ke tanah. Muncul keajaiban yaitu terdengar suara janin Bendoro Gung yang menyuruh Patih untuk menghentikan perbuatannya dan meminta Patih untuk membuatkan rakit.

Sejak saat itu, Patih Pranggulang mengubah namanya menjadi Ki Poleng dan mengembara dengan rakit bersama sang Putri dan beberapa prajurit yang menemaninya. Rombongan itu terdampar di sebuah daratan kecil yang tersembul di permukaan laut tepat di bawah pohon "ploso" (semacam pohon jati). Daratan itu dinamakan "Lemah Doro" (tanah yang tak sesungguhnya). Bendoro Gung melahirkan di pinggir pantai atas bantuan Ki Poleng, sang Putri melahirkan seorang bayi laki-laki yang rupawan dan Ki Poleng memberi nama Radhin Saghârâ (Pangeran Laut). Sejak kelahiran Radhin Saghârâ, di sekitar Gunung Geger selalu ada cahaya

Suatu ketika, Pasukan besar dari negeri Cina menyerang Kerajaan Medang Kamulan. Prabu Gilingwesi yang tidak gentar menghadapi. Namun, bangsa Cina menyerang Medang Kamulan dengan wabah yang tidak bisa diatasi oleh Medang Kamulan. Raja mengutus seseorang untuk memanggil Radhin Saghârâ yang terkenal atas ilmu pengobatannya. Akhirnya Radhin Saghârâ bersama Ki Poleng berangkat ke Medang Kamulan. Radhin Saghârâ berhasil menyembuhkan penyakit cacar masyarakat Medang Kamulan serta turut membantu menyerang bangsa Cina.

Sang Raja berterima kasih kepada Radhin Saghârâ, ia berniat menikahkan putrinya dengan Radhin Saghârâ. Namun, Radhin Saghârâ segera mengetahui bahwa putri tersebut adalah bibinya sendiri sehingga ia menolak tawaran raja. Sang Raja marah karena merasa tidak dihargai. Akhirnya, Medang Kamulan hendak menyerang Madura. Berkat bantuan seseorang dari Medang Kamulan yang berpihak pada Radhin Saghârâ, Radhin Saghârâ segera mengetahui rencana tersebut. Perlawanan Radhin Saghârâ ditentang oleh Bendoro Gung karena tidak pantas jika berperang dengan keluarga. Radhin Saghârâ beserta Bendoro Gung dan Ki Poleng kemudian bersembunyi di Hutan Nepa.

Radhin Saghârâ, Bendoro Gung, dan Ki Poleng Radhin bertapa di Gunung Geger untuk memohon perlindungan. Sang Maha Kuasa mengabulkan sehingga secara ajaib mereka menghilang dan prajurit yang mengiringi mereka berubah menjadi kera. Berakhirlah kisah Radhin Saghârâ. Menurut masyarakat yang percaya, terdapat orang yang memiliki spiritualitas tinggi bisa melihat sosok Radhin Saghârâ di hutan dengan mengenakan pakaian peran berlapis emas.

            Miteme ditemukan dalam episode mitos Radhin Saghârâ yaitu sebagai berikut:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline