Tasawuf adalah laku... Seumpama peta, tasawuf adalah gambar perjalanan yang membimbing manusia mengenali jalan untuk sampai di titik tuju. Sebagai peta, tasawuf menggambarkan "rintangan" bahkan "jebakan" yang mungkin dilalui seorang pejalan. Maka, sampai tidaknya si pejalan di ujung tujuan tergantung dari penguasaan dan pemahamannya terhadap peta itu.
Tapi rupanya, peta itu bukanlah sesuatu yang berasal dari luar dirinya. Seumpama instruksi yang diterangkan sebelum perjalanan dilakukan. Sejenis manual prosedur yang wanti-wanti disampaikan pemandu supaya perjalanan cermat ditunaikan.
Peta itu adalah hati. Entitas yang tidak hanya bermakna biologis tapi juga sejenis piranti ruhani paling halus yang dilesakkan Tuhan ke dalam diri manusia. Hati menjadi cermin yang memotret kesadaran kemanusiaan seutuhnya. Dengannya, ia bisa dikenali manusia sebagai manusia sebenarnya atau sebagai perwujudan binatang sebenarnya.
Barangkali itulah makna, bahwa dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu sehat, sehatlah jasadnya. Sebaliknya, jika segumpal daging itu busuk, maka "busuklah" jasadnya. Dialah hati. Tapi manusia tidak hanya ruhani. Sebagian lainnya adalah jasad atau materi.
Dan tarikan untuk lebih percaya dan "mengabdi" pada yang materi bisa lebih memikat ketimbang bersimpuh khidmat kepada yang ruhani. Manusia berjejak di bumi adalah tarikan materi itu. Intensi terhadap yang materi mungkin bisa disebut "fitrah" atau bawaan primodial manusia.
Amati dengan seksama bagaimana laku manusia hari ini. Dunia dengan seluruh pesonanya adalah magnet yang telah menyedot hasrat manusia untuk bertarung habis-habisan. Kita semua kerap ditarik oleh kuatnya hisapan magnet itu. Politik misalnya, dipahami sebagai urusan hidup dan mati. Sebagai siasat beroleh telunjuk kuasa yang harus diperoleh dengan menghalalkan segala cara.
Dengan muslihat dan akal bulus. Dengan dusta dan kemunafikan. Tapi kehidupan dengan gambar seperti itu adalah album berdebu. Deretan potret yang kusam bahkan hitam. Tak ada wajah atau tingkah asli yang bisa kita kenali. Tak ada peristiwa sebenarnya yang bisa menuntun ingatan mengenangnya kembali.
Bersihkanlah hati, begitu para Sufi mempercayai. Ia adalah awal manusia disebut manusia. Hati yang bersih adalah lapangan luas bagi tajjali Tuhan menghampiri. Disebutlah, langit dan bumi tak pernah sanggup menampung Tuhan tetapi hati orang mu'min lah yang sanggup melakukannya.
"Kurindu perbendaharaan ini dikenali" begitu kata Rumi. "Maka kucipta cermin: Mukanya yang cemerlang, hati; punggungnya yang gelap, dunia. Punggungnya kan memesonamu jika tak pernah kau lihat mukanya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H